Selasa, 15 September 2009

NLP: Satu Bentuk Pragmatisme

I think the more you want to become more and more creative you have to not only elicit other peoples’ (plural) strategies and replicate them yourself, but also modify others’ strategies and have a strategy that creates new creativity strategies based on as many wonderful states as you can design for yourself. Therefore, in a way, the entire field of NLP™ is a creative tool, because I wanted to create something new.
(Richard Bandler)

Dalam bahasa sehari-hari Khrisnamurti (I am not sure that this was the right spelling), kala kita berpikir bahwa suatu barang ringan, maka ringanlah dia.

Sebelum kita semua tertawa, mari kita lihat dulu siapa sebenarnya Richard Bandler ini.

Bandler adalah seorang ahli matematika yang bersama John Grinder, seorang ahli bahasa, pada pertengahan 1970-an mulai mengembangkan NLP. Ketertarikan mereka dipicu beberapa hal. Pertama, orang-orang yang sukses. Kedua, psikologi. Ketiga, bahasa. Keempat, pemrograman komputer. NLP jelas bukan satu hal yang mudah didefinisikan. Untuk menjelaskan hal itu pun, bahkan para ahlinya kerap menggunakan satu metafora bahwa NLP merupakan satu peranti lunak bagi otak untuk membuat otak bekerja karena pada dasarnya kita tidak diberikan manual saat diberikan otak oleh Tuhan.

Prinsip-prinsip NLP sangat bergantung pada beberapa hal. Pertama, gagasan tentang pikiran bawah sadar yang secara terus-menerus mempengaruhi pikiran dan tindakan. Kedua, perilaku dan tuturan metaforis, terutama yang dibangun di atas metode-metode yang digunakan Freud dalam interpretasi mimpi. Ketiga, hipnoterapi Milton Erickson. NLP juga dipengaruhi pemikiran-pemikiran Noam Chomsky—dari wilayah linguistik.

Pada dasarnya, NLPmengajarkan pada orang berbagai skill komunikasi dan persuasi dan mengubah serta memotivasi orang dengan menggunakan metode-metode hipnotis-diri. Bhakan beberapa tokoh NLP–seperti juga Khrisnamurti— mengklaim bahwa mereka bisa mengajarkan satu metode yang tak mungkin salah untuk mengetahui ketika seseorang berbohong atau tidak, namun ahli NLP lain menyatakan bahwa itu tidak mungkin dilakukan.

Satu prinsip dasar NLP yang mengandung fallacy yang kental disertai warna metafisika yang kuat adalah bahwa ”jika seseorang bisa melakukan sesuatu, maka orang-orang lain pun akan dapat melakukannya” . Perbedaan antara kita Einsten dan Maradona berarti hanya dipisahkan oleh NLP!

NLP dikatakan sebagai studi struktur pengalaman subyektif, namun fokus perhatian lebih diarahkan pada langkah-langkah pengamatan perilakau dan mengajarkan kepada orang bagaimana cara membaca bahasa tubuh. Padahal, bahasa tubuh merupakan satu hal yang maknanya hanya bisa ditemukan secara kultural dan sosial. Artinya, tidak ada makna inheren dalam satu bahasa tubuh karena tidak ada universalitas di dalamnya.

Selain itu, interpretasi atas bahasa tubuh tersebut pun tidak dapat diverifikasi sehingga sulit untuk dianggap sebagai pengetahuan, apalagi diperlakukan sebagai scintific method. Misalnya, jika saya mengatakan bahwa saat saya melihat seorang gadis tersenyum ke arah saya, saya mengartikan bahwa senyum itu bermakna sang gadis menyukai saya dan pikirannya bekerja memikirkan rasa sukanya. Dari mana saya bisa mengetahui apakah interpretasi itu benar atau tidak? Jika sanga gadis mengonfirmasi interpretasi saya tersebut, dari mana saya bisa tahu bahwa dia menjawab dengan jujur? Ini sama saja dengan kerja seorang dukun yang menyatakan bahwa pada masa lalu saya adalah seorang raja yang hidup di sebuah negeri yang amat kaya raya: Anda tidak bisa menguji apakah itu benar atau tidak.

Dalam banyak perspektif ilmu sosial, klaim-klaim NLP dianggap sebagai metafisik yang tak berdasar. Jika ingin berkomentar lebih sopan, saya akan mengatakan bahwa NLP tidak lebih dari upaya segelintir orang yang sedikit belajar ini-itu untuk memunculkan satu pemikiran ilmiah yang menyerupai spiritualitas dengan mengeksploitasi hasrat orang-orang dan pemikiran mainstream yang berkembang akan gagasan-gagasan voluntaristik yang optimistis. Dalam kalimat pendek, menjajakan NLP sama dengan memproduseri film dan sinetron murahan yang menggambarkan bionic woman dan six million dollar man!

Paradigma voluntaristik yang kental membayangi premis-premis NLP rasanya lebih tepat dimaknai sebagai satu hal yang kemunculannya dipicu oleh semangat agentif yang kental, semangat ubermansch manusia yang lelah menghadapi batasan-batasan alamiahnya. Pada rentang tertentu, ini masuk akal dan dapat ditoleransi, namun jika kita harus menggunakan mantera-mantera ”kapas ringan” untuk mengangkat sebuah truk gandeng, misalnya, ini jelas metafisik alias tahayul.

Klaim-klaim NLP tentang pikiran dan persepsi tidak pernah disertai dukungan dari neuroscience. Klaim-klaim tersebut datang dari sumber yang gelap dan tak terverifikasi serta bersifat metafisik, kurang lebih sama dengan konsep motivasi dalam teori strukturasi Anthony Giddens.

Pembelaan dari NLP bukan tidak ada. Pembelaan utama mereka adalah pengakuan dari para NLPers bahwa metode-metode mereka memang bersifat pragmatis (baca pragmatisme John Dewey). Yang penting berhasil. Pembelaan itu menjadi satu-satunya benteng NLP menghadapi kritik atas tidak validnya klaim-klaim mereka. Tapi, ada satu hal yang membuat saya berpikir. Kalau hanya untuk melakukan hal-hal hebat yang metafisik, masih banyak metode pragmatis lain yang tidak perlu membuat kita menghabiskan puluhan juta rupiah untuk mendapatkannya: jimat banten salah satunya. Iya toh?

Tanpa pemaparan tidakjelas tapi bergaya ilmiah plus lokakarya yang serupa dengan dolanan khas Taman Indria, rasanya kita masih bisa mencapai hal-hal pragmatis dalam hidup secara gempang kok….

What a huge waste of money and time!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar