1. Catur Tertib Pertanahan
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:
a. Tertib Hukum Pertanahan
Diarahkan pada program:
1. Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
2. Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
3. Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
4. Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.
b. Tertib Administrasi Pertanahan
Diarahkan pada program:
1. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.
2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.
3. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
4. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor PPAT.
5. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
c. Tertib Penggunaan Tanah
Diarahkan pada usaha untuk:
1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup
Diarahkan pada usaha:
a. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.
b. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
c. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.
Pertimbangan dari segi tata guna tanah, antara lain menjawab:
• Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna tanah yang sudah ada ?
• Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
• Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan dan pengawetan tanah yang bersangkutan?
• Melakukan analisa dampak lingkungan (ANDAL) sebelum suatu usaha industri/pabrik didirikan.
• Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.
2. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan
Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.
Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)
Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:
a. Tujuan
Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.
b. Prinsip Dasar
1. Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-sama pemilik tanah yang berdampingan
2. Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk mensukseskan kegiatan ini.
3. Sasaran
Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.
3. Penatagunaan Tanah Pertanian
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan negara.
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan pangan maupun tanaman perdagangan.
Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.
UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).
Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:
a. Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan
b. Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor dan makin menurunya tarif bea masuk
c. Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan pertanian yang semakin meningkat.
4. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:
• Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
• UU Darurat No. 8 Tahun 1954
• UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan
• UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.
5. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusaha an terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.
Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):
a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.
Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang lain, yaitu:
• segi yuridis
• pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada asas-asas pembangunan nasional.
Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
a. Penetapan lokasi perusahaan:
1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.
2) Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.
3) Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.
4) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemar an lingkungan.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada pertimbangan:
• Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi lokasi perusahaan.
• Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi
• Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin.
• Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.
• Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek.
1) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemar an lingkungan.
b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:
1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ ditelantarkan dimana hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.
2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.
Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:
• Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/ menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
• Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesungguhnya.
c. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan:
1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.
2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah: Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.
Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai wewenang:
merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
1) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
2) Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.
Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya berupa:
3) Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pembangunan perumahan
4) Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak
6. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.
Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan:
a.Kepentingan umum;
b.Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.
Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir.
Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu
Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman tertentu ialah:
a. UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman tertentu.
b. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:
a)Mengenai letak tanah
Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang memerlukan tanah
b)Mengenai luas tanah
Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan kesuburan tanah
c)Pola tanam
Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.
Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:
Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan yang memerlukan tanah.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
__._,_.___
LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH
1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.
2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA
Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan- kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.
Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.
Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan pemerintah
3.No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.
Mengenai penertiban/pemanfaa tan:
6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
8.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982
Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.
9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:
1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
4. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;
5. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
6. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari system pembangunan;
7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;
8. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.
__._,_.___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar