Isitilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu "zekerheid" atau "cautie", yang secara umum merupakan cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.
Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU yang Diubah)
Selain istilah jaminan, dikenal juga istilah atau kata-kata agunan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan, yang sama-sama memilki arti yaitu "tanggungan" . Namun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 dan UU No. 10 Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Dimana dalam UU No. 14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah "jaminan" dari pada agunan.
Pada dasarnya, pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah sama. Namun, dalam praktek perbankan istilah di bedakan. Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/ keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan agunan diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.
Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu: "suatu keyakinan kreditur.bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan" .
Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ".
Dalam Penjelasan Pasal 8 UU yang Diubah, terdapat 2 (dua) jenis agunan, yaitu: agunan pokok dan agunan tambahan. Agunan pokok adalah barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambah dengan agunan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan (menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998), yaitu:
1. merupakan jaminan tambahan.
2. diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur.
3. untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah.
Kegunaan dari jaminan, yaitu:
1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
2. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
3. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya.
Syarat-syarat benda jaminan:
1. secara mudah dapat membantu diperolehnya kredit itu, oleh pihak yang memerlukannya.
2. tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
3. memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang jaminan setiap waktu dapat di eksekusi, bahkan diuangkan untuk melunasi utang si penerima (nasabah debitur).
Manfaat benda jaminan bagi kreditur:
1. terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup.
2. memberikan kepastian hukum bagi kreditur.
Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur, adalah: untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.
Penggolongan Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu" segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".
2. Jaminan yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.
3. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/ bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.
sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum.
Penggolongan jaminan berdasarkan Objek/Bendanya:
1. Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena sifatnya yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam bentuk benda bergerak dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.
2. Jaminan dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa hak tanggungan (hipotik).
Penggolongan jaminan berdasarkan Terjadinya:
1. Jaminan yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi.
2. Jaminan yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotik, dan hak tanggungan.
Selasa, 22 September 2009
Obyek Barang Jaminan Kredit
“Barang atau Benda apa saja yang bisa diajukan sebagai agunan saat mengajukan kredit ke bank? Sebab bagi pengusaha UKM, masalah agunan menjadi faktor utama sulitnya mendapat pinjaman untuk memperbesar usaha dan menambah modal.”
Memang benar bank meminta nasabahnya menyerahkan jaminan, tidak lain dalam rangka mengurangi risiko kegagalan peminjam, memenuhi kewajibannya kepada bank. Yang menjadi keprihatinan kita bersama, adalah apabila jaminan menjadi faktor utama sulitnya nasabah mendapatkan pinjaman. Pada kesempatan ini, kami ingin menjelaskan seluk beluk jaminan dilihat dari beberapa sudut pandang dan pengikatan barang jaminan serta sekaligus menjawab pertanyaan Anda sebagai berikut:
Jenis jaminan:
Ditilik dari obyek yang dibiayai, maka jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan pokok dan jaminan tambahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Jaminana Pokok.
Jaminan pokok adalah barang atau obyek yang dibiayai dengan kredit. Misalnya seorang nasabah pabrik roti mendapat kredit untuk membeli oven pembakar roti, maka oven pembakar roti tersebut menjadi jaminan pokok. Atau seorang nasabah lain mendapat jaminan untuk pembelian rumah atau yang dikenal dengan KPR, maka jaminan pokok adalah rumah yang dibeli dengan kredit kepemiilikan rumah tersebut. Begitupula apabila ada nasabah lain, yang mendapat pinjaman untuk menambah modal kerja, maka modal kerjanya menjadi jaminan pokok, seperti piutang, persediaan barang dagangan, dll.
2). Jaminan Tambahan.
Jaminan tambahan adalah barang yang dijadikan jaminan untuk menambah jaminan pokok. Mengapa jaminan pokok harus ditambah, karena nilainya kurang sebagai akibat penilaian bank lebih rendah dari harganya. Alasannya penilaian bank salah satunya adalah apabila peminjam lalai membayar kewajibannya kepada bank, maka bank mengambilalih jaminan dan dijual. Pada saat menjual tersebut membutuhkan tambahan biaya. Jaminan tambahan yang bernilai tinggi berupa tanah dan bangunan yang telah memiliki sertifikat HM/HGU/HGB dan ber-IMB.
Dilihat dari wujud barang maka jaminan dapat berupa barang yang berwujud dan tidak berwujud, seperti dijelaskan berikut ini:
1). Jaminan Berwujud.
Jaminan berwujud adalah jaminan tersebut dapat dilihat dan diraba, misalnya oven roti, rumah, mesin, bangunan pabrik, dan kendaraan.
2). Jaminan Tidak Berwujud.
Jaminan tidak berwujud adalah jaminan yang bentuknya hanya komitmen atau janji saja. Walaupun demikian janji atau komitmen tersebut harus didokumentasikan ke dalam tulisan, sehingga dapat diadministradikan dengan baik. Contohnya Garansi Perusahaan, Garansi Perorangan. Bahkan di Jepang Garansi Perusahaan dapat hanya berbentuk cap perusahaan besar, yang sangat menjaga komitmentnya, sehingga pencantuman cap saja dapat dipercaya oleh pemberi pinjaman.
Dari segi mobilitas atau pergerakannya, barang jaminan dapat dibedakan menjadi barang bergerak dan barang tidak bergerak:
1). Barang Bergerak.
Barang jaminan yang bergerak artinya barang tersebut mudah berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Contoh barang bergerak adalah persediaan barang dagangan, piutang, kendaraan bermotor, mesin pabrik kecuali yang sudah tertanam di dalam pabrik yang sulit untuk dipindahtangankan
2) Barang Tidak Bergerak
Barang jaminan yang tidak bergerak adalah jaminan yang tidak dapat dipindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Contohnya adalah tanah dan bangunan, mesin-mesin pabrik yang telah tertanam di pabrik tersebut.
Dari segi mudah tidaknya barang diawasi oleh pemegang jaminan, maka barang jaminan dapat dibedakan menjadi barang yang mudah dikontrol dan tidak mudah dikontrol:
1). Barang yang Tidak Mudah Dikontrol.
Barang jaminan yang tidak mudah dikontrol adalah barang jaminan yang sulit diawasi oleh bank, karena pergerakannya sangat cepat. Misalnya persediaan barang dagangan dan piutang.
2) Barang yang mudah Dikonttrol.
Barang jaminan yang mudah dikontrol adalah barang jaminan yang tidak dapat bergerak, seperti tanah dan bangunan atau kapal yang sangat besar sehingga tidak mudah untuk pindah.
Pengikatan Jaminan:
Bank sebagai pemegang barang jaminan kredit, harus bisa membuktikan bahwa barang-barang tersebut masih terkait dengan kredit yang diberikannya. Untuk itu bank melakukan pengikatan terhadap barang jaminan. Pengikatan barang jaminan berbeda untuk jenis barang yang satu dengan jenis barang lainnya. Awal tahun 1980 kita masih mendengar istilah Credit Verband, yang merupakan salah satu jenis pengikatan barang jaminan warisan Belanda. Pengikatan barang jaminan tanah dan kapal untuk tonase tertentu harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Untuk jaminan tanah harus di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Oleh karena itu kita mengenal beberapa jenis pengikatan barang jaminan sebagai berikut:
1). APHT (Akta Pengikat Hak Tanggungan).
APTH adalah akta yang memuat tentang nomor sertifikat, tanggal penerbitan sertifikat, luas tanah, lokasi tanah dan barang-barang yang ada di atas tanah tersebut serta besarnya beban hutang yang diletakkan/ dipertanggung jawabkan di atas tanah tersebut. APHT harus didaftarkan di Badan Pertanahan Negara. (Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota )
2) Akta Hipotik Kapal.
Akta Hipotik Kapal adalah pengikat hipotik atas kapal yang memuat tentang nomor sertifikat kapal dan besarnya beban hutang yang diletakkan/dipertan ggungjawabkan di atas kapal tersebut. Akta Hipotik kapal harus didaftarkan di Syahbandar
3). Akta Fidusia.
Akta Fidusa adalah akta yang memuat tentang jenis dan jumlah barang yang diikat secara fiducia. Jenis pengikatan ini ditempuh karena sifat barang yang mudah berpindah dan surat bukti kepemilikan barang tersebut tidak dikuasai oleh bank. Akta ini harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia di Departemen Hukum dan HAM. (Kantor Wilayah DepHuk dan Ham)
4). Akta Gadai.
Akta Gadai adalah akta yang memuat tentang jenis dan jumlah barang yang diikat secara Gadai. Jenis pengikatan ini ditempuh karena kepemilikan barang tersebut dikuasai oleh bank. Akta ini biasanya dibuat di bawah tangan dalam arti tidak perlu dibuat di hadapan notaris.
Memang perlu kesabaran khusus untuk menyikapi barang jaminan berikut seluk beluknya. Namun, penjelasan di atas dapat dijadikan sebagai rujukan barang dan benda apa saja yang bisa diajukan sebagai jaminan saat mengajukan kredit ke bank.
Memang benar bank meminta nasabahnya menyerahkan jaminan, tidak lain dalam rangka mengurangi risiko kegagalan peminjam, memenuhi kewajibannya kepada bank. Yang menjadi keprihatinan kita bersama, adalah apabila jaminan menjadi faktor utama sulitnya nasabah mendapatkan pinjaman. Pada kesempatan ini, kami ingin menjelaskan seluk beluk jaminan dilihat dari beberapa sudut pandang dan pengikatan barang jaminan serta sekaligus menjawab pertanyaan Anda sebagai berikut:
Jenis jaminan:
Ditilik dari obyek yang dibiayai, maka jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan pokok dan jaminan tambahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Jaminana Pokok.
Jaminan pokok adalah barang atau obyek yang dibiayai dengan kredit. Misalnya seorang nasabah pabrik roti mendapat kredit untuk membeli oven pembakar roti, maka oven pembakar roti tersebut menjadi jaminan pokok. Atau seorang nasabah lain mendapat jaminan untuk pembelian rumah atau yang dikenal dengan KPR, maka jaminan pokok adalah rumah yang dibeli dengan kredit kepemiilikan rumah tersebut. Begitupula apabila ada nasabah lain, yang mendapat pinjaman untuk menambah modal kerja, maka modal kerjanya menjadi jaminan pokok, seperti piutang, persediaan barang dagangan, dll.
2). Jaminan Tambahan.
Jaminan tambahan adalah barang yang dijadikan jaminan untuk menambah jaminan pokok. Mengapa jaminan pokok harus ditambah, karena nilainya kurang sebagai akibat penilaian bank lebih rendah dari harganya. Alasannya penilaian bank salah satunya adalah apabila peminjam lalai membayar kewajibannya kepada bank, maka bank mengambilalih jaminan dan dijual. Pada saat menjual tersebut membutuhkan tambahan biaya. Jaminan tambahan yang bernilai tinggi berupa tanah dan bangunan yang telah memiliki sertifikat HM/HGU/HGB dan ber-IMB.
Dilihat dari wujud barang maka jaminan dapat berupa barang yang berwujud dan tidak berwujud, seperti dijelaskan berikut ini:
1). Jaminan Berwujud.
Jaminan berwujud adalah jaminan tersebut dapat dilihat dan diraba, misalnya oven roti, rumah, mesin, bangunan pabrik, dan kendaraan.
2). Jaminan Tidak Berwujud.
Jaminan tidak berwujud adalah jaminan yang bentuknya hanya komitmen atau janji saja. Walaupun demikian janji atau komitmen tersebut harus didokumentasikan ke dalam tulisan, sehingga dapat diadministradikan dengan baik. Contohnya Garansi Perusahaan, Garansi Perorangan. Bahkan di Jepang Garansi Perusahaan dapat hanya berbentuk cap perusahaan besar, yang sangat menjaga komitmentnya, sehingga pencantuman cap saja dapat dipercaya oleh pemberi pinjaman.
Dari segi mobilitas atau pergerakannya, barang jaminan dapat dibedakan menjadi barang bergerak dan barang tidak bergerak:
1). Barang Bergerak.
Barang jaminan yang bergerak artinya barang tersebut mudah berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Contoh barang bergerak adalah persediaan barang dagangan, piutang, kendaraan bermotor, mesin pabrik kecuali yang sudah tertanam di dalam pabrik yang sulit untuk dipindahtangankan
2) Barang Tidak Bergerak
Barang jaminan yang tidak bergerak adalah jaminan yang tidak dapat dipindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Contohnya adalah tanah dan bangunan, mesin-mesin pabrik yang telah tertanam di pabrik tersebut.
Dari segi mudah tidaknya barang diawasi oleh pemegang jaminan, maka barang jaminan dapat dibedakan menjadi barang yang mudah dikontrol dan tidak mudah dikontrol:
1). Barang yang Tidak Mudah Dikontrol.
Barang jaminan yang tidak mudah dikontrol adalah barang jaminan yang sulit diawasi oleh bank, karena pergerakannya sangat cepat. Misalnya persediaan barang dagangan dan piutang.
2) Barang yang mudah Dikonttrol.
Barang jaminan yang mudah dikontrol adalah barang jaminan yang tidak dapat bergerak, seperti tanah dan bangunan atau kapal yang sangat besar sehingga tidak mudah untuk pindah.
Pengikatan Jaminan:
Bank sebagai pemegang barang jaminan kredit, harus bisa membuktikan bahwa barang-barang tersebut masih terkait dengan kredit yang diberikannya. Untuk itu bank melakukan pengikatan terhadap barang jaminan. Pengikatan barang jaminan berbeda untuk jenis barang yang satu dengan jenis barang lainnya. Awal tahun 1980 kita masih mendengar istilah Credit Verband, yang merupakan salah satu jenis pengikatan barang jaminan warisan Belanda. Pengikatan barang jaminan tanah dan kapal untuk tonase tertentu harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Untuk jaminan tanah harus di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Oleh karena itu kita mengenal beberapa jenis pengikatan barang jaminan sebagai berikut:
1). APHT (Akta Pengikat Hak Tanggungan).
APTH adalah akta yang memuat tentang nomor sertifikat, tanggal penerbitan sertifikat, luas tanah, lokasi tanah dan barang-barang yang ada di atas tanah tersebut serta besarnya beban hutang yang diletakkan/ dipertanggung jawabkan di atas tanah tersebut. APHT harus didaftarkan di Badan Pertanahan Negara. (Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota )
2) Akta Hipotik Kapal.
Akta Hipotik Kapal adalah pengikat hipotik atas kapal yang memuat tentang nomor sertifikat kapal dan besarnya beban hutang yang diletakkan/dipertan ggungjawabkan di atas kapal tersebut. Akta Hipotik kapal harus didaftarkan di Syahbandar
3). Akta Fidusia.
Akta Fidusa adalah akta yang memuat tentang jenis dan jumlah barang yang diikat secara fiducia. Jenis pengikatan ini ditempuh karena sifat barang yang mudah berpindah dan surat bukti kepemilikan barang tersebut tidak dikuasai oleh bank. Akta ini harus didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia di Departemen Hukum dan HAM. (Kantor Wilayah DepHuk dan Ham)
4). Akta Gadai.
Akta Gadai adalah akta yang memuat tentang jenis dan jumlah barang yang diikat secara Gadai. Jenis pengikatan ini ditempuh karena kepemilikan barang tersebut dikuasai oleh bank. Akta ini biasanya dibuat di bawah tangan dalam arti tidak perlu dibuat di hadapan notaris.
Memang perlu kesabaran khusus untuk menyikapi barang jaminan berikut seluk beluknya. Namun, penjelasan di atas dapat dijadikan sebagai rujukan barang dan benda apa saja yang bisa diajukan sebagai jaminan saat mengajukan kredit ke bank.
Sekilas Pintas Tentas Cessie
Sebagaimana diketahui dalam hukum Perdata dikenal lembaga Penyerahan hak-hak piutang atas nama, khususnya untuk benda bergerak dilakukan dengan Cessie. Cessie merupakan penggantian orang berpiutang lama (disebut: Cedent), dengan seseorang berpiutang baru (Cessionaris) . Misalnya, A berpiutang pada B, tetapi A menyerahkan piutang itu kepada C, sehingga C-lah yang berhak atas piutang yang ada pada B.
Menurut pasal 613 KUH Perdata, penyerahan itu harus dilakukan dengan akta autentik atau di bawah tangan. Penyerahan secara lisan tidak sah. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi supaya Cessie itu mempunyai kekuatan atau daya berlaku terhadap debitur, yaitu :
-Pemberitahuan penyerahan secara nyata dari cedent (piutang lama) kepada debitor atau ;
-Adanya pengakuan dari debitor secara tertulis.
Apabila pemberitahuan itu tidak dilakukan, debitor dapat melakukan pembayaran terhadap cedent, asalkan debitor masih menggangap cedent sebagai kreditor yang jujur.
Disamping ketiga penyerahan itu dikenal juga penyerahan lainnya, yaitu Levering piutang atas tunjuk. Penyerahan piutang atas tunjuk dilakukan dengan penyerahan secara nyata atas surat-surat itu (Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata). Yang termasuk atas surat-surat disini, seperti Saham, Cek dan lain-lain.
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan syarat-syarat asanya Levering, baik terhadap benda bergerak, benda tidak bergerak, maupun piutang atas nama:
- Harus ada perjanjian yang zakelijke, adalah perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan (zakelijke rechten). Misalnya, eigendom, bezit, hipotek, dan pand;
-Harus ada title (alas hak), adalah hubungan hukun yang mengakibatkan Levering. Hubungan hukum yang paling sering adalah perjanjian. Misalnya, jual beli, tukar menukar, dan lain-lain.
-Harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda tadi ;
-Harus ada penyerahan nyata atau yuridis ;
-Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi, penyerahan (levering) atas benda yang menjadi objek levering menjadi tidak sah dan dapat digugat dimuka hakim.
Penyerahan (levering) diatur di dalam pasal 612 KUH Perdata , pasal 620 KUH Perdata. Di dalam NBW, Levering diatur dalam Buku III tentang Van Zaken, yang dimulai dari Art.639 – Art. 617 NBW.
Ada dua arti perkataan penyerahan (Levering), yaitu :
1. Feitelijke Levering, dan
2. Juridische Levering.
Feitelijke Levering adalah penyerahan yang nyata dari suatu benda, sehingga benda tersebut dialihkan ke dalam kekuasaan yang nyata dari pihak lawan. Sedangkan Juridische Levering adalah penyerahan milik berserta hak untuk memiliki suatu benda kepada pihak lainnya.
A. Pembagian Penyerahan
Di dalam BW dikenal tiga macam penyerahan (levering), yaitu :
a. Penyerahan (levering) benda bergerak ;
b. Penyerahan (levering) benda tidak bergerak;
c. Penyerahan (levering) piutang atas nama.
Yang ketiga hal tersebut akan dijelaskan dalam sub bab berikut.
B. Penyerahan Benda Bergerak
Ada tiga macam cara penyerahan (levering) benda bergerak, yaitu sebagai berikut :
- Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering)
Feitelijke Levering adalah suatu penyerahan secara nyata terhadap benda bergerak berwujud yang dilakukan oleh pemilik terhadap pihak lainnya (pasal 612 KUH Perdata). Misalnya, A telah membeli Komputer pada sebuah toko dengan harga Rp. 1.000.000,00. Setelah A membayar, maka pemilik toko harus menyerahkan secara nyata kepada A. Penyerahan itu tidak perlu melalui proses yang panjang, cukup diserahkan begitu saja oleh pemilik toko.
-Penyerahan Kunci
Penyerahan kunci adalah suatu penyerahan terhadap benda bergerak, dimana benda bergerak itu berada di dalam suatu tempat atau gedung tempat benda tadi disimpan (Pasal 612 KUH Perdata). Misalnya, akan ada penyerahan beras atau gula yang telah disimpan dalam suatu gudang, maka yang diserahkan oleh pemilik kepada pembeli adalah kunci gudang tersebut.
-Penyerahan tidak perlu dilakukan
Penyerahan tidak perlu dilakukan disebabkan benda yang diserahkan telah berada di tangan atau dikuasai oleh yang hendak menerimanya.
Ada dua macam figure penyerahan cara ini :
(1) Penyerahan dengan tangan pendek ( Traditio Brevimanu)
Contohnya: A telah menyewa kendaraan milik B, tetapi karena B membutuhkan uang, maka kendaraan itu dijual kepada A. Pada mulanya A hanya sebagai penyewa, kini ia sebagai pemilik kendaraan ;
(2) Constitutum Pessesorium
Adalah suatu penyerahan, dimana benda yang akan diserahkan masih digunakanoleh pemiliknya untuk sementara waktu.
Contohnya: A pemilik sebuah kendaraan Kijang. Karena membutuhkan uang, ia menjual kendaraan itu kepada B, tetapi A masih membutuhkan kendaraan itu, kemudian ia meminjamkan kepada B, kedudukan A dulunya sebagai pemilik, tetapi kini sebagai piminjam.
C. Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Penyerahan untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan sebuah akta penyerahan (akta transport). Akta itu dibuat dengan akta Autentik atau akta dibawah tangan.
Untuk jual beli hak atas tanah, hipotek, maupun credietverband harus dilakukan dimuka dan dihadapan pejabat yang berwenang. Pejabat berwenang membuat akta hak atas tanah / hipotek /credietverband adalah notaries, PPAT dan camat untuk kecamatan yang belum mempunyai notaris.
Berdasarkan akta notaries itu, maka pembeli atau penjual / kreditur / debitur membawa akta itu ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten / Kotamadya untuk didaftarkan di dalam daftar buku tanah / hipotek / credietveriband.
Kembali kepada Ruang Lingkup Cessie dalam kehidupan sehari-hari didunia perdagangan kita mengenai bermacam-macam tagihan, seperti :
a. Tagihan Biasa
b. Wessel
c. Cheque
d. Promes
e. Ceel
f. Cognossement, dan lain-lain.
Tagihan-tagian tersebut diatas dapat berupa :
1. Sejumlah uang tertentu
2. Sejumlah barang tertentu
Sebagaian macam-macam tagihan tersebut dalam hal tertentu disyaratkan oleh undang-undang dan dibuat dalam bentuk tertulis, dari bentuk tagihan tersebut pada dasarnya mempunyai nilai uang tertentu paling tidak kalau tagihan (objek tagihan tertentu) dijual maka orang mengatakan surat tagian-tagihan tersebut merupakan sura bernilai.
Adv :SURAT BERNILAI
Dalam hal surat tagihan (surat bernilai) tersebut yang berupa tagihan atas sejumlah barang orang akan menamakan tagihan seperti itu surat-surat tak kebendaan.
Selain disebut dalam KUH Perdata, orang juga dapat mengadakan pengelompokan- pengelompokan tagihan-tagihan diatas dengan cara lain yaitu kedalam 3 kelompok, yaitu:
1. Tagihan atas Tunjuk (Aan Toonder ) dengan Ciri-ciri :
Tagihan –tagihan yang sama sekali tidak menunjuk nama kreditur dan hak tagihan tersebut dapat dilaksanakan oleh siapa saja yang menunjukkan surat tagihan tersebut.
2. Tagihan atas Order, dengan Ciri-ciri :
Tagihan-tagihan yang menyebutkan namanya krediturnya atau orang lain yang ditunjuk oleh kreditur tersebut yang tanpa bantuan atau kerjasama dari debitur dapat dialihkan kepada orang lain yang disebut oleh kreditur dengan cara Endossement.
3. Tagihan atas Nama, dengan Ciri-ciri :
Yang jelas bukan tagihan atas order maupun tagihan atas tunjuk. Pada prinsipnya tagihan atas nama menunjuk siapa krediturnya, tetapi karena tagihan atas nama pada azasnya tidak harus dituangkan dalam wujud suatu surat atau tulisan, maka pada tagihan atas nama yang dibuat secara lisan sulit untuk dikatakan bahwa tagihan tersebut menyebutkan nama krediturnya. Walaupun demikian para pihak tau siapa person di karenakan identitas dan krediturnya, dengan kata lain tagihan atas nama adalah tagihan-tagihan yang hanya dapat ditagih oleh kreditur tertentu saja.
D. Para Pihak dalam Cessie
Kreditur yang mengoperkan hak dan tagihannya. Tagihan atas nama kita disebut Cedent, sedangkan orang yang mengoper, yang menerima tagihan disebut Cessionaris , dan kreditur yang dalam Cessie tidak berganti disebut Cessus.
Kita melihat bahwa di dalm Cessie terlibat 3 pihak dalam tiga hubungan yang berlainan. Yang pertama, hubungan antara kreditur (semua / cedent) dengan debitur (cessus). Ini merupakan hubungan asal sebelum ada peristiwa cessie. Sesudah ada Cessie maka muncul hubungan yang kedua, yaitu hubungan antara cessionaries dengan cessus. Kedua hubungan yang terakhir akan kita bicarakan lebih lanjut.
E. Hubungan Antara Cedent dengan Cessionaris
Syarat umum dalam Cessie
-Rechtstitel yang sah
Penyerahan hak tagihan atas nama benda-benda tak bertubuh lainnya, merupakan bagian dari pada penyerahan benda-benda pada umumya. Maka untuk sahnya Cessie-pun disyaratkan adanya Rechtstitel untuk penyerahan hak milik dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kewenangan besehikking.
-Kewenangan mengambil tindakan Besehikking
Levering tagihan harus dilakukan oleh orang yangmempunyai kewenangan mengambil tindakan beschikking.
F. Cessie Accessoir pada Rechtstitel
Kalau kita membicarakan tentang tagihan atas nama, hendaknya kita jangan berfikir bahwa tagihan tersebut mesti timbul dari suatu perjanjian hutang piutang, sebab yang namanya tagihan atas nama bisa saja berupa tagihan atas kekurangan pembayaran suatu pembelian atau tagihan yang berasal dari suatu tuntutan ganti rugi bahkan tagihan tersebut tidak usah berwujud sejumlah uang tertentu. Dapat saja tagihan atas nama tersebut merupakan tagihan atas penyerahan barang.
Cessie sebagai cara untuk menyerahkan (levering) selalu Accessoir pada suatu peristiwa hukum yang menimbulkan kewajiban levering. Hubungan obligator yang mendahului Cessie dapat berupa perjanjian yang paling umum perjanjian jual beli, tapi bisa timbul karena hubungan obligatoir yang lain, seperti Inbreng atau Onreehtmatigedaad seperti dikatakan diatas.
Dalam hal dasar Cessie adalah jual beli atas hak tagihan atas nama , maka harga jual / beli tersebut tidak perlu bahkan biasanya lebih rendah dari nilai nominal tagihannya.
Kalau orang menjual hak tagihan yang baru matang untuk ditagih sebulan kemudian, maka pembeli tentunya tidak mau mengopernya dengan nilai yang sama dengan nilai nominalnya. Karena Cessie merupakan buntut dari suatu umpama karena perjanjian obligatoirnya cacat sehingga dibatalkan, maka akta cessie tidak menjadikan cessionaries pemilik dari tagihan yang diterimanya.
G. Syarat-syarat Khusus
Dalam pasal 613 KUH Perdata, menyatakan cessie harus dilakukan dengan membuat suatu akta dan akta yang demikian dinamakan akta Cessie. Dari ketentuan tersebut ternyata bahwa untuk Cessie ditentukan suatu bentuk tertentu, yaitu tertulis. Walaupun untuk hubungan obligatoir yang menjadi dasar Cessie, seperti misalnya jual belinya tidak diisyaratkan suatu bentuk tertentu. Cessie cukup dituangkan akta, baik di bawah tangan maupun autentik, asal di dalamnya tegas disebutkan bahwa kreditur lama dengan itu telah menyerahkan hak tagihannya kepada kreditur baru.
HgH dalam salah satu keputusannya mengatakan, bahwa akta Cessie itu tidak perlu berupa suatu perjanjian, pernyataan sepihak saja sudah cukup asal kemudian diterima oleh Cessionaris.
Dengan penanda tanganan akta Cessie saja, Cessie sudah selesai, sudah sah, artinya dioperkan hak tagih dari cedent kepada cessionaries.
H. Hubungan antara Cessionarris dengan Cessus
- Pemberitahuan (betekening)
Pada pasal 613 KUH Perdata ayat 2 mengatakan “bahwa akta cessie tersebut baru berlaku terhadap Cessus (debitur), kalau kepadanya sudah diberitahukan adanya Cessie atau secara tertulis disetujui atau diakui olehnya.
Ketentuan tersebut menentukan kita untuk membedakan antara 2 hubungan hukum yang ketentuan tersebut menentukan kita untuk membedakan antara 2 hubungan hukum yanglainan. Yang pertama adalah hubungan antara Cedent (kreditur semula) dengan Cessionaris (kreditur baru), sedang yang kedua adalah antara Cessionaris dan Cessus (debitur).
Yang pertama pengoperan hak tagihnya antara cedent dengan Cessionaris, bisa dilaksanakan tanpa turut sertanya Cessus, tetapi yang kedua agar berlaku terhadap Cessus, Cessus harus disertakan.
Cessie baru mempunyai pengaruh daya kerja terhadap Cessus, kalau ia telah memberitahu secara tertulis atau secara tertulis ia sendiri telah menyetujui atau mengakuinya. Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah adanya syarat pemberitahuan atau pegakuan / persetujuan secara tertulis.
Adanya persetujuan dan pengakuan menunjukkan , bahwa Cessus telah mengetahui adanya Cessie. Persetujuan atau pengakuan tersebut biasanya Cessus menanda tangani akta Cessienya. Dalam mana ia menyatakan, bahwa ia mengakui atau menyetujuipengopera n hak tagih cedent atas dirinya.
Yang dimaksud dengan pemberitahuan secara tertulis adalah pemberitahuan melalui Exploit Juru Sita. Dalam hal Cessus sudah memberikan persetujuan, pengakuan, maka betekeninng tak perlu ada lagi. Seperti telah dikatakan diatas, dengan pembuatan akta Cessie sebenarnyna sudah selesai , hak tagih sudah beralih tetapi menurut pasal 613 ayat 3, baru mengikat Cessus, kalau kepadanya sudah diberitahukan atau telah diakui atau disetujui.
Akibat penting dari pada pemberitahuan melalui Exploit Juru Sita atau persetujuan atau pengakuan adalah bahwa debitur sekarang tidak dapat lagi melunasi hutangny secara sah dan karenanya membebaskan dari kewajiban membayar hutng kepada Cedent, sebab dengan pemberitahuan tersebut ia sekarang mengetahui bahwa krediturnya telah berganti.
Cessie dua kali (Dubbelelle Cessie)
Peristiwa sebagai yang disebut dibawah ini mungkin dapat membantu menjelaskan masalah betekening. A mempunyai tagihan atas debiturnya si X. Ia menjual hak tagihnya kepada B. Kemudian ia menjual hak tagihnya tersebut kepada C dan dibuatlah pula akta Cessinya. C cepat-cepat memberitahukan (betekening) adanya Cessie kepada X. Kalau X dengan itikad baik membayar kepada C, maka pembayaran tersebut adalah sah dan kalau pitu penuh,maka ia telah terbebas dari hutangnya.
Cessie dan pembayaran dengan Itikad Baik
Pada prinsipnya pembayaran harus diterimakan kepada kreditur atau kuasanya (atau orang yang oleh undang-undang atau hakim di tunjuk sebagai orang yang dikuasakan untuk menerimanya) . Dengan perkataan lain kepada krediur yang sebenarnya. Tetapi dalam hal tagihan tersebut berwujud surat pengakuan hutang maka undang-undang memberikan ketentuan yang menyimpang. Dalam pasal 1386 dikatakan “ bahwa pembayaran yang dilakukan dengan itikad kepada orang yang memegang surat piutang atau tagihannya sah.
Dengan demikian kalau Cessus sesudah ada betekening dengan itikad baik membayar kepada Cessionaris, yang memegang surat tagihannya, maka pembayaran tersebut adalah sah. Disini tidak dipermasalahkan apakah Cessionaris memperoleh tagihan tersebut berdasarkan suatu title yang sah dan karenanya tidak dipermasalahkan apakah Cessionaris benar-benar telah memperoleh hak atas tagihan tersebut dan telah menjadi kreditur yang sah dari Cessus.
Namun masalah ini jangan dikacaukan dengan masalah peralihan hak tagih dari Cedent kepada Cessionaris. Untuk sahnya Cessie tetap disyahkan adanya title yang sah dan kewenangan beschikking. Yang kita bicarakan disini adalah hubungan antara Cessionaris dan Cessus yang dalam hubungan antaran Cedent dan Cessionaris dalam Cessie adalah pihak ketiga.
Dalam masalah tersebut dapat dipandang juga dari sudut lain, debitur dapat menolak tagihan yang diceder kepada Cessionaris, kalau ternyata Reshtstitel (peristiwa perdata) yang menjadi dasar Cessie itu batal.
Memendang Cessie itu dari 2 Segi :
- Sebagai lembaga hukum perikatan, sebagai penggantian kualitas kreditur.
- Sebagai bagian dari hukum benda, sebagai cara peralihan hak milik.
Ditinjau dari sudut penggantian kreditur, bagi debitur tidak penting tentang bagaimana caranya dan apa dasarnya, sehingga orang yang menagih itu memegang tagihan yang semula adalah milik kreditur asal, yang penting baginya adalah bahwa apabila ia membayar tagihan tersebut ia terbebas dari hutangnya. Yang pokok baginya adalah apakah si pemegang memang orang yang berhak menagih. Dalam hal demikian ia dapat dengan sah membayar kepada pemegang hak tagihnya. Posisinya dilindungi oleh pasal 1386.
- Cessie atas Piutang yang akan ada
Cessie merupakan Levering dari pada benda-benda tak berwujud dan karenanya merupakan bagian dari masalah benda pada umumnya dan kedua, Cessie merupakan bagian dari masalah benda pada umumnya dan kedua Cessie merupakan buntut daripada suatu perjanjian untuk mengalihkan hak, maka kita perlu meninjau dulu apakah ada kemungkinan untuk menutup suatu perjanjian untuk mengalihkan hak .
Barang-barang yang Relatif belum ada adalah barang-barang yang pada saat itu sudah ada tetapi belum menjadi milik orang yang akan mengalihkan hak. Barang tersebut belum menjadi milik subjek yang akan menjual, menggadaikan, menukarkan dan karenanya disebut barang-barang yang subjektif belum ada.
Barang yang Absolut belum ada adalah barang-barang yang pada saat itu memang benar-benar belum ada dan baru akan ada dikemudian hari, bukan saja sicalon penjual belum memilikinya tetapi belum dimiliki oleh siapa pun dan karenanya disebut juga barang-barang yang objektif belum ada.
Terhadap barang yang Relatif belum ada tidak banyak masalah. Semua orang tentu tidak keberatan kalau A mengadakan transaksi jual beli atas barang-barang yang pada saar itu masih harus dipesan dari pabriknya. Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak bertemu dengan kasus-kasus yang demikian.
Jual beli atas barang-barang yang objektif belum ada tidak ada keberatan. Orang dapat saja menjual panen yang akan datang. Orang dapat menutup kontrak pembelian / penjualan atas seluruh produksi tahun yang akan datang dari pabrik tertentu.Undang- undang sendiri dalam pasal 1334 mengatakan bahwa barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang mengalihkan hak atas suatu benda atau zaak sedang perjanjian obligatoir yang mendahuluinya baru mewajibkan orang yang untuk menyerahkan. Khususnya pada jual beli secara kontant atas benda bergerak, dengan pembayaran secara kontant oleh pembeli dan untuk menyerahkan (yang meliputi baik penyerahan nyata maupun penyerahan juridischnya) jatuh hampir pada saat yang bersamaan. Perjanjian kebendaan tak dapat hanya bertujuan untuk mengalihkan hak kebendaan saja tetapi sekaligus bagi pihak yang menerima, menimbulkan hak kebendaan.
Suatu tagihan adalah benda immaterial dan atas benda-benda yang demikian itu, lain dari pada benda-benda berwujud. Pada tagihan-tagihan benda-benda tak berwujud tidak ada halangan untuk menyerahkan (levering) tagihan yang akan datang, karena yang akan diserahkan adalah hak yang memegang sekalipun seandainya sekarang sudah ada, tidak ada wujud materiilnya.
Pendapat dari pada pengadilan dan tidak hanya pada keputusan tentang Cessie saja tetapi kadang-kadang juga menyimpulkan tentang Cessie saja, tetapi juga menyimpulkan keputusan-keputusan mengenai perkara lain, tetapi yang dapat secara analogi dipakai sebagai patokan untuk menjawab pertanyaan yang sedang kita hadapi.
Keputusan yang langsung berhubungan dengan Cessie adalah keputusan H.R. tanggal 29 Desember 1933. Dalam arrest tersebut H.R. mempertimbangkan bahwa “pengoperan tagihan atas nama hanya mungkin (denkbaar en dus rechtens slecjes mogelijk), jika tagihan tersebut pada saat pembuatan akta penyerahan sudah ada dimana dapat diambil sebagai patokan bahwa suatu tagihan dalam arti sebagai yang dimaksud oleh ketentuan undang-undang yang bersangkutan adalah ada”.
Jadi kalau hubungan hukum yang akan melahirkan hak tagih tersebut belum ada maka menurut H.R. tidak bisa orang mengalihkan hak tagihnya.
- Cessie atas benda-benda tak bertubuh lainnya
Termasuk dalam kelompok “benda tak bertubuh lainnya” yang paling penting adalah andil atas nama dalam suatu perseroan. Cara penyerahan andil perseroan biasanya diatur dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Kalaupun anggaran dasar yang bersangkutan tidak mengaturnya, maka K.U.H.D. biasanya memberikan pengaturannya sendiri.
Pada P.T pasal 42 K.U.H.D. memberikan petunjuk mengenai tersebut. Disana dikatakan bahwa penyerahan dapat dilakukan dengan sebuah pemberitahuan (betekening) dari persero yang bersangkutan dan si penerima tentang pengoperan tersebut atau dengan mencatatnya dalam buku perseroan atau pada buku andil yang bersangkutan serta ditanda tangani oleh pengurus.
Perbedaan Cessie Tagihan atas nama adalah bahwa disini hak berpindah bukan atas dasar akta penyerahan , tetapi sejak berpindah bukan atas dasar akta penyerahan, tetapi sejak pemberitahuan atau pengakuan dari perseroan yang bersangkutan. Jadi kalau pemberitahuan pada Cessie tagihan atas nama berfungsi hanya agar Cessie mengikat, belaku terhadap Cessus, maka disini betekening menentukan beralihnya hak atas andil yang bersangkutan.
Hak pengarang dapat dipindah tangankan dengan akta atau dibawah tangan, juga merk dapat dioperkan bersama-sama dengan perusahaan pabrik yang bersangkutan atau secara tersendiri.
- Cessie sebagai jaminan
Pasal 1153 mengatur tentang gadai atas benda-benda bergerak tak berwujud dari luar order atau surat tunjuk (Aan Toonder). Kata “benda bergerak tak berwujud” disana sebenarnya dapat digantikan “tagihan atas nama” karena tagihan order sudah diatur dalam pasal 1152 bis, tagihan atas tunjuk dalam pasal 1152, sedang benda-benda bergerak tak bertubuh lainnya. Menurut pasal 1152, untuk menggadaikan tagihan atas nama, tidak disyaratkan adanya Cessie, tetapi cukup dengan pemberitahuan saja kepada debitur.
Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan, bahwa gadai disini, baru berlaku sesudah ada pemberitahuan. Untuk pemberitahuannya pun tidak disyaratkan untuk dituangkan dalam bentuk Exploit Juru Sita, sehingga pemberitahuan bisa saja sudah cukup. Disini kita melihat perbedaan yang cukup prinsipil dengan Cessie, karena pada Cessie hak milik beralih jadi Levering sudah selesi dengan dibuatnya akta Cessie. Sedangklan pada gadai tagihan atas nama akta seperti itu tidak disyaratkan dan digadai baru berlaku sesudah ada pemberitahuan. Karena dalam gadai disyaratkan bahwa benda gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, maka pemberitahuan kepada debitur dapat disamakan dengan “dikeluarkan dari kekuasaannya” . Sebab sekarang debitur tidak lagi dengan bebas membayar secara sah kepada krediturnya. Dalam hal demikian debitur dapat dituntut agar pemberitahuan dan persetujuan dari pemberi gadai dilakukan secara tertulis agar debitur mempunyai pegangan bukti tertulis.
I. Ruang Lingkup Cessie
Alat Pembuktian
Kertas yang berisi pengakuan hutang atau pernyataan kesanggupan untuk membayar tersebut ada yang dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian, kecuali undang-undang menentukan lain, sebagai salah satu syarat untuk ada lahirnya tagihan tersebut seandainya, surat tagihan yang bersangkutan hilang, maka tagihan tersebut tidak menjadi hapus, hanya berfungsi sebagai “kertas atau tulisan” (alat bukti) tersebut yang menjadi hilang.
Untuk tagihan tertentu, seperti tagihan atas tunjuk (Aan Toornder) dan (Atas Order) tertuang dalam kertas dalam bentuk surat akta tagihan yang tidak hanya berfungsi sebagai alat bukti melainkan juga sebagai perwujudan / realisasi dari tagihan tersebut. Dan disamping itu juga kertas dalam bentuk surat akta tagihan untuk tagihan tertentu, tagihan atas tunjuk (Aan Toonder) dan (Atas Order) memberikan legitiematie kepada pemegangnya sebagai pemilik
J. Subjek-subjek dalam suatu tagihan
Didalam suatu tagihan selalu terlibat 2 pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Kedua pihak tersebut pada umumnya adalah orang yang bersangkutan, khususnya person debitur ynag bersifat novatie (pembaruan utang) subjectif pasif dalam suatu perikatan dan karenanya juga dalam suatu tagihan dalam arti person debiturnya, tidak dapat diganti tanpa persetujuan dari para kreditur, hal ini sangat logis, karena nilai suatu tagihan disamping ditentukan oleh beberapa faktor, juga bergantung dari bonafiditas person debitur.
Lain halnya dengan person kreditur, bagi debitur pada azasnya tidak menjadi soal kepada siapa ia harus membayar, sepanjang jumlah dan semua syarat-syaratnya adalah sama.
Pada masa kini membutuhkan sekali adanya kemungkinan penggantian kreditur pada tagihan-tagihan. Kemungkinan peralihan seperti itu dapat karena memang undang-undang menentukan seperti itu (Cessie pada tagihan atas nama) atau memang diperjanjikan antara pihak kreditur dan debitur dengan cara menuangkannya dalam suatu bentuk tertentu yang diakui dan diatur oleh undang-undang tagihan atas tunjuk “Aan Toonder dan tagihan atas Order”, yang mengatakan bahwa paktek memang membutuhkan dimungkinkannya hal itu, dan memang telah dilaksanakan di dalam praktek.
K. Pengertian Kreditur dan Levering
Seperti yang dikatakan di atas tagihan-tagihan diatas oleh undang-undangan dapat diadakan penggantian subjek kreditur. Penggantian disini berarti bahwa ada kreditur baru yang menjadi pemilik baru atas tagihan tersebut, ada kreditur baru yang mengoper tagihan tersebut perikatan yang melahirkan tagihan tersebut TETAP, yang diganti hanyalah subjek krediturnya saja, sehingga dalam hal ini sebenarnya ada pengoperan KUALITAS krediturnya saja. Konsekuensinya adalah bahwa Accesoir dan Execeptie-nya yang melekat pada perikatan tersebut tetap tidak berubah.
L. Pengaturan Penyerahan Dalam KUH Perdata
Masalah penyerahan dalam KUH Perdata diatur dalam buku II, pada bagian yang membicarakantentang cara memperoleh hak milik kedalam tangan / pemilikan orang lain, karena kita sedang membicarakan penyerahan sebagai cara mengoperkan atau memindahkan hak milik atas suatu tagihan, maka akan ada istilah rechtstitel (peristiwa perdata) dan akan ada hubungannya dengan obligatolir.
Yang dimaksud dengan Rechtstitel (peristiwa) perdata adalah hubungan hukum obligatoir (Obligatoire Rechtsverhouding) yang menimbulkan kewajiban untuk levering atau penyerahan (ke dalam pemilik orang lain).
Menurut pasal 613 KUH Perdata, penyerahan itu harus dilakukan dengan akta autentik atau di bawah tangan. Penyerahan secara lisan tidak sah. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi supaya Cessie itu mempunyai kekuatan atau daya berlaku terhadap debitur, yaitu :
-Pemberitahuan penyerahan secara nyata dari cedent (piutang lama) kepada debitor atau ;
-Adanya pengakuan dari debitor secara tertulis.
Apabila pemberitahuan itu tidak dilakukan, debitor dapat melakukan pembayaran terhadap cedent, asalkan debitor masih menggangap cedent sebagai kreditor yang jujur.
Disamping ketiga penyerahan itu dikenal juga penyerahan lainnya, yaitu Levering piutang atas tunjuk. Penyerahan piutang atas tunjuk dilakukan dengan penyerahan secara nyata atas surat-surat itu (Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata). Yang termasuk atas surat-surat disini, seperti Saham, Cek dan lain-lain.
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan syarat-syarat asanya Levering, baik terhadap benda bergerak, benda tidak bergerak, maupun piutang atas nama:
- Harus ada perjanjian yang zakelijke, adalah perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan (zakelijke rechten). Misalnya, eigendom, bezit, hipotek, dan pand;
-Harus ada title (alas hak), adalah hubungan hukun yang mengakibatkan Levering. Hubungan hukum yang paling sering adalah perjanjian. Misalnya, jual beli, tukar menukar, dan lain-lain.
-Harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda tadi ;
-Harus ada penyerahan nyata atau yuridis ;
-Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi, penyerahan (levering) atas benda yang menjadi objek levering menjadi tidak sah dan dapat digugat dimuka hakim.
Penyerahan (levering) diatur di dalam pasal 612 KUH Perdata , pasal 620 KUH Perdata. Di dalam NBW, Levering diatur dalam Buku III tentang Van Zaken, yang dimulai dari Art.639 – Art. 617 NBW.
Ada dua arti perkataan penyerahan (Levering), yaitu :
1. Feitelijke Levering, dan
2. Juridische Levering.
Feitelijke Levering adalah penyerahan yang nyata dari suatu benda, sehingga benda tersebut dialihkan ke dalam kekuasaan yang nyata dari pihak lawan. Sedangkan Juridische Levering adalah penyerahan milik berserta hak untuk memiliki suatu benda kepada pihak lainnya.
A. Pembagian Penyerahan
Di dalam BW dikenal tiga macam penyerahan (levering), yaitu :
a. Penyerahan (levering) benda bergerak ;
b. Penyerahan (levering) benda tidak bergerak;
c. Penyerahan (levering) piutang atas nama.
Yang ketiga hal tersebut akan dijelaskan dalam sub bab berikut.
B. Penyerahan Benda Bergerak
Ada tiga macam cara penyerahan (levering) benda bergerak, yaitu sebagai berikut :
- Penyerahan Nyata (Feitelijke Levering)
Feitelijke Levering adalah suatu penyerahan secara nyata terhadap benda bergerak berwujud yang dilakukan oleh pemilik terhadap pihak lainnya (pasal 612 KUH Perdata). Misalnya, A telah membeli Komputer pada sebuah toko dengan harga Rp. 1.000.000,00. Setelah A membayar, maka pemilik toko harus menyerahkan secara nyata kepada A. Penyerahan itu tidak perlu melalui proses yang panjang, cukup diserahkan begitu saja oleh pemilik toko.
-Penyerahan Kunci
Penyerahan kunci adalah suatu penyerahan terhadap benda bergerak, dimana benda bergerak itu berada di dalam suatu tempat atau gedung tempat benda tadi disimpan (Pasal 612 KUH Perdata). Misalnya, akan ada penyerahan beras atau gula yang telah disimpan dalam suatu gudang, maka yang diserahkan oleh pemilik kepada pembeli adalah kunci gudang tersebut.
-Penyerahan tidak perlu dilakukan
Penyerahan tidak perlu dilakukan disebabkan benda yang diserahkan telah berada di tangan atau dikuasai oleh yang hendak menerimanya.
Ada dua macam figure penyerahan cara ini :
(1) Penyerahan dengan tangan pendek ( Traditio Brevimanu)
Contohnya: A telah menyewa kendaraan milik B, tetapi karena B membutuhkan uang, maka kendaraan itu dijual kepada A. Pada mulanya A hanya sebagai penyewa, kini ia sebagai pemilik kendaraan ;
(2) Constitutum Pessesorium
Adalah suatu penyerahan, dimana benda yang akan diserahkan masih digunakanoleh pemiliknya untuk sementara waktu.
Contohnya: A pemilik sebuah kendaraan Kijang. Karena membutuhkan uang, ia menjual kendaraan itu kepada B, tetapi A masih membutuhkan kendaraan itu, kemudian ia meminjamkan kepada B, kedudukan A dulunya sebagai pemilik, tetapi kini sebagai piminjam.
C. Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Penyerahan untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan sebuah akta penyerahan (akta transport). Akta itu dibuat dengan akta Autentik atau akta dibawah tangan.
Untuk jual beli hak atas tanah, hipotek, maupun credietverband harus dilakukan dimuka dan dihadapan pejabat yang berwenang. Pejabat berwenang membuat akta hak atas tanah / hipotek /credietverband adalah notaries, PPAT dan camat untuk kecamatan yang belum mempunyai notaris.
Berdasarkan akta notaries itu, maka pembeli atau penjual / kreditur / debitur membawa akta itu ke Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten / Kotamadya untuk didaftarkan di dalam daftar buku tanah / hipotek / credietveriband.
Kembali kepada Ruang Lingkup Cessie dalam kehidupan sehari-hari didunia perdagangan kita mengenai bermacam-macam tagihan, seperti :
a. Tagihan Biasa
b. Wessel
c. Cheque
d. Promes
e. Ceel
f. Cognossement, dan lain-lain.
Tagihan-tagian tersebut diatas dapat berupa :
1. Sejumlah uang tertentu
2. Sejumlah barang tertentu
Sebagaian macam-macam tagihan tersebut dalam hal tertentu disyaratkan oleh undang-undang dan dibuat dalam bentuk tertulis, dari bentuk tagihan tersebut pada dasarnya mempunyai nilai uang tertentu paling tidak kalau tagihan (objek tagihan tertentu) dijual maka orang mengatakan surat tagian-tagihan tersebut merupakan sura bernilai.
Adv :SURAT BERNILAI
Dalam hal surat tagihan (surat bernilai) tersebut yang berupa tagihan atas sejumlah barang orang akan menamakan tagihan seperti itu surat-surat tak kebendaan.
Selain disebut dalam KUH Perdata, orang juga dapat mengadakan pengelompokan- pengelompokan tagihan-tagihan diatas dengan cara lain yaitu kedalam 3 kelompok, yaitu:
1. Tagihan atas Tunjuk (Aan Toonder ) dengan Ciri-ciri :
Tagihan –tagihan yang sama sekali tidak menunjuk nama kreditur dan hak tagihan tersebut dapat dilaksanakan oleh siapa saja yang menunjukkan surat tagihan tersebut.
2. Tagihan atas Order, dengan Ciri-ciri :
Tagihan-tagihan yang menyebutkan namanya krediturnya atau orang lain yang ditunjuk oleh kreditur tersebut yang tanpa bantuan atau kerjasama dari debitur dapat dialihkan kepada orang lain yang disebut oleh kreditur dengan cara Endossement.
3. Tagihan atas Nama, dengan Ciri-ciri :
Yang jelas bukan tagihan atas order maupun tagihan atas tunjuk. Pada prinsipnya tagihan atas nama menunjuk siapa krediturnya, tetapi karena tagihan atas nama pada azasnya tidak harus dituangkan dalam wujud suatu surat atau tulisan, maka pada tagihan atas nama yang dibuat secara lisan sulit untuk dikatakan bahwa tagihan tersebut menyebutkan nama krediturnya. Walaupun demikian para pihak tau siapa person di karenakan identitas dan krediturnya, dengan kata lain tagihan atas nama adalah tagihan-tagihan yang hanya dapat ditagih oleh kreditur tertentu saja.
D. Para Pihak dalam Cessie
Kreditur yang mengoperkan hak dan tagihannya. Tagihan atas nama kita disebut Cedent, sedangkan orang yang mengoper, yang menerima tagihan disebut Cessionaris , dan kreditur yang dalam Cessie tidak berganti disebut Cessus.
Kita melihat bahwa di dalm Cessie terlibat 3 pihak dalam tiga hubungan yang berlainan. Yang pertama, hubungan antara kreditur (semua / cedent) dengan debitur (cessus). Ini merupakan hubungan asal sebelum ada peristiwa cessie. Sesudah ada Cessie maka muncul hubungan yang kedua, yaitu hubungan antara cessionaries dengan cessus. Kedua hubungan yang terakhir akan kita bicarakan lebih lanjut.
E. Hubungan Antara Cedent dengan Cessionaris
Syarat umum dalam Cessie
-Rechtstitel yang sah
Penyerahan hak tagihan atas nama benda-benda tak bertubuh lainnya, merupakan bagian dari pada penyerahan benda-benda pada umumya. Maka untuk sahnya Cessie-pun disyaratkan adanya Rechtstitel untuk penyerahan hak milik dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kewenangan besehikking.
-Kewenangan mengambil tindakan Besehikking
Levering tagihan harus dilakukan oleh orang yangmempunyai kewenangan mengambil tindakan beschikking.
F. Cessie Accessoir pada Rechtstitel
Kalau kita membicarakan tentang tagihan atas nama, hendaknya kita jangan berfikir bahwa tagihan tersebut mesti timbul dari suatu perjanjian hutang piutang, sebab yang namanya tagihan atas nama bisa saja berupa tagihan atas kekurangan pembayaran suatu pembelian atau tagihan yang berasal dari suatu tuntutan ganti rugi bahkan tagihan tersebut tidak usah berwujud sejumlah uang tertentu. Dapat saja tagihan atas nama tersebut merupakan tagihan atas penyerahan barang.
Cessie sebagai cara untuk menyerahkan (levering) selalu Accessoir pada suatu peristiwa hukum yang menimbulkan kewajiban levering. Hubungan obligator yang mendahului Cessie dapat berupa perjanjian yang paling umum perjanjian jual beli, tapi bisa timbul karena hubungan obligatoir yang lain, seperti Inbreng atau Onreehtmatigedaad seperti dikatakan diatas.
Dalam hal dasar Cessie adalah jual beli atas hak tagihan atas nama , maka harga jual / beli tersebut tidak perlu bahkan biasanya lebih rendah dari nilai nominal tagihannya.
Kalau orang menjual hak tagihan yang baru matang untuk ditagih sebulan kemudian, maka pembeli tentunya tidak mau mengopernya dengan nilai yang sama dengan nilai nominalnya. Karena Cessie merupakan buntut dari suatu umpama karena perjanjian obligatoirnya cacat sehingga dibatalkan, maka akta cessie tidak menjadikan cessionaries pemilik dari tagihan yang diterimanya.
G. Syarat-syarat Khusus
Dalam pasal 613 KUH Perdata, menyatakan cessie harus dilakukan dengan membuat suatu akta dan akta yang demikian dinamakan akta Cessie. Dari ketentuan tersebut ternyata bahwa untuk Cessie ditentukan suatu bentuk tertentu, yaitu tertulis. Walaupun untuk hubungan obligatoir yang menjadi dasar Cessie, seperti misalnya jual belinya tidak diisyaratkan suatu bentuk tertentu. Cessie cukup dituangkan akta, baik di bawah tangan maupun autentik, asal di dalamnya tegas disebutkan bahwa kreditur lama dengan itu telah menyerahkan hak tagihannya kepada kreditur baru.
HgH dalam salah satu keputusannya mengatakan, bahwa akta Cessie itu tidak perlu berupa suatu perjanjian, pernyataan sepihak saja sudah cukup asal kemudian diterima oleh Cessionaris.
Dengan penanda tanganan akta Cessie saja, Cessie sudah selesai, sudah sah, artinya dioperkan hak tagih dari cedent kepada cessionaries.
H. Hubungan antara Cessionarris dengan Cessus
- Pemberitahuan (betekening)
Pada pasal 613 KUH Perdata ayat 2 mengatakan “bahwa akta cessie tersebut baru berlaku terhadap Cessus (debitur), kalau kepadanya sudah diberitahukan adanya Cessie atau secara tertulis disetujui atau diakui olehnya.
Ketentuan tersebut menentukan kita untuk membedakan antara 2 hubungan hukum yang ketentuan tersebut menentukan kita untuk membedakan antara 2 hubungan hukum yanglainan. Yang pertama adalah hubungan antara Cedent (kreditur semula) dengan Cessionaris (kreditur baru), sedang yang kedua adalah antara Cessionaris dan Cessus (debitur).
Yang pertama pengoperan hak tagihnya antara cedent dengan Cessionaris, bisa dilaksanakan tanpa turut sertanya Cessus, tetapi yang kedua agar berlaku terhadap Cessus, Cessus harus disertakan.
Cessie baru mempunyai pengaruh daya kerja terhadap Cessus, kalau ia telah memberitahu secara tertulis atau secara tertulis ia sendiri telah menyetujui atau mengakuinya. Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah adanya syarat pemberitahuan atau pegakuan / persetujuan secara tertulis.
Adanya persetujuan dan pengakuan menunjukkan , bahwa Cessus telah mengetahui adanya Cessie. Persetujuan atau pengakuan tersebut biasanya Cessus menanda tangani akta Cessienya. Dalam mana ia menyatakan, bahwa ia mengakui atau menyetujuipengopera n hak tagih cedent atas dirinya.
Yang dimaksud dengan pemberitahuan secara tertulis adalah pemberitahuan melalui Exploit Juru Sita. Dalam hal Cessus sudah memberikan persetujuan, pengakuan, maka betekeninng tak perlu ada lagi. Seperti telah dikatakan diatas, dengan pembuatan akta Cessie sebenarnyna sudah selesai , hak tagih sudah beralih tetapi menurut pasal 613 ayat 3, baru mengikat Cessus, kalau kepadanya sudah diberitahukan atau telah diakui atau disetujui.
Akibat penting dari pada pemberitahuan melalui Exploit Juru Sita atau persetujuan atau pengakuan adalah bahwa debitur sekarang tidak dapat lagi melunasi hutangny secara sah dan karenanya membebaskan dari kewajiban membayar hutng kepada Cedent, sebab dengan pemberitahuan tersebut ia sekarang mengetahui bahwa krediturnya telah berganti.
Cessie dua kali (Dubbelelle Cessie)
Peristiwa sebagai yang disebut dibawah ini mungkin dapat membantu menjelaskan masalah betekening. A mempunyai tagihan atas debiturnya si X. Ia menjual hak tagihnya kepada B. Kemudian ia menjual hak tagihnya tersebut kepada C dan dibuatlah pula akta Cessinya. C cepat-cepat memberitahukan (betekening) adanya Cessie kepada X. Kalau X dengan itikad baik membayar kepada C, maka pembayaran tersebut adalah sah dan kalau pitu penuh,maka ia telah terbebas dari hutangnya.
Cessie dan pembayaran dengan Itikad Baik
Pada prinsipnya pembayaran harus diterimakan kepada kreditur atau kuasanya (atau orang yang oleh undang-undang atau hakim di tunjuk sebagai orang yang dikuasakan untuk menerimanya) . Dengan perkataan lain kepada krediur yang sebenarnya. Tetapi dalam hal tagihan tersebut berwujud surat pengakuan hutang maka undang-undang memberikan ketentuan yang menyimpang. Dalam pasal 1386 dikatakan “ bahwa pembayaran yang dilakukan dengan itikad kepada orang yang memegang surat piutang atau tagihannya sah.
Dengan demikian kalau Cessus sesudah ada betekening dengan itikad baik membayar kepada Cessionaris, yang memegang surat tagihannya, maka pembayaran tersebut adalah sah. Disini tidak dipermasalahkan apakah Cessionaris memperoleh tagihan tersebut berdasarkan suatu title yang sah dan karenanya tidak dipermasalahkan apakah Cessionaris benar-benar telah memperoleh hak atas tagihan tersebut dan telah menjadi kreditur yang sah dari Cessus.
Namun masalah ini jangan dikacaukan dengan masalah peralihan hak tagih dari Cedent kepada Cessionaris. Untuk sahnya Cessie tetap disyahkan adanya title yang sah dan kewenangan beschikking. Yang kita bicarakan disini adalah hubungan antara Cessionaris dan Cessus yang dalam hubungan antaran Cedent dan Cessionaris dalam Cessie adalah pihak ketiga.
Dalam masalah tersebut dapat dipandang juga dari sudut lain, debitur dapat menolak tagihan yang diceder kepada Cessionaris, kalau ternyata Reshtstitel (peristiwa perdata) yang menjadi dasar Cessie itu batal.
Memendang Cessie itu dari 2 Segi :
- Sebagai lembaga hukum perikatan, sebagai penggantian kualitas kreditur.
- Sebagai bagian dari hukum benda, sebagai cara peralihan hak milik.
Ditinjau dari sudut penggantian kreditur, bagi debitur tidak penting tentang bagaimana caranya dan apa dasarnya, sehingga orang yang menagih itu memegang tagihan yang semula adalah milik kreditur asal, yang penting baginya adalah bahwa apabila ia membayar tagihan tersebut ia terbebas dari hutangnya. Yang pokok baginya adalah apakah si pemegang memang orang yang berhak menagih. Dalam hal demikian ia dapat dengan sah membayar kepada pemegang hak tagihnya. Posisinya dilindungi oleh pasal 1386.
- Cessie atas Piutang yang akan ada
Cessie merupakan Levering dari pada benda-benda tak berwujud dan karenanya merupakan bagian dari masalah benda pada umumnya dan kedua, Cessie merupakan bagian dari masalah benda pada umumnya dan kedua Cessie merupakan buntut daripada suatu perjanjian untuk mengalihkan hak, maka kita perlu meninjau dulu apakah ada kemungkinan untuk menutup suatu perjanjian untuk mengalihkan hak .
Barang-barang yang Relatif belum ada adalah barang-barang yang pada saat itu sudah ada tetapi belum menjadi milik orang yang akan mengalihkan hak. Barang tersebut belum menjadi milik subjek yang akan menjual, menggadaikan, menukarkan dan karenanya disebut barang-barang yang subjektif belum ada.
Barang yang Absolut belum ada adalah barang-barang yang pada saat itu memang benar-benar belum ada dan baru akan ada dikemudian hari, bukan saja sicalon penjual belum memilikinya tetapi belum dimiliki oleh siapa pun dan karenanya disebut juga barang-barang yang objektif belum ada.
Terhadap barang yang Relatif belum ada tidak banyak masalah. Semua orang tentu tidak keberatan kalau A mengadakan transaksi jual beli atas barang-barang yang pada saar itu masih harus dipesan dari pabriknya. Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak bertemu dengan kasus-kasus yang demikian.
Jual beli atas barang-barang yang objektif belum ada tidak ada keberatan. Orang dapat saja menjual panen yang akan datang. Orang dapat menutup kontrak pembelian / penjualan atas seluruh produksi tahun yang akan datang dari pabrik tertentu.Undang- undang sendiri dalam pasal 1334 mengatakan bahwa barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang mengalihkan hak atas suatu benda atau zaak sedang perjanjian obligatoir yang mendahuluinya baru mewajibkan orang yang untuk menyerahkan. Khususnya pada jual beli secara kontant atas benda bergerak, dengan pembayaran secara kontant oleh pembeli dan untuk menyerahkan (yang meliputi baik penyerahan nyata maupun penyerahan juridischnya) jatuh hampir pada saat yang bersamaan. Perjanjian kebendaan tak dapat hanya bertujuan untuk mengalihkan hak kebendaan saja tetapi sekaligus bagi pihak yang menerima, menimbulkan hak kebendaan.
Suatu tagihan adalah benda immaterial dan atas benda-benda yang demikian itu, lain dari pada benda-benda berwujud. Pada tagihan-tagihan benda-benda tak berwujud tidak ada halangan untuk menyerahkan (levering) tagihan yang akan datang, karena yang akan diserahkan adalah hak yang memegang sekalipun seandainya sekarang sudah ada, tidak ada wujud materiilnya.
Pendapat dari pada pengadilan dan tidak hanya pada keputusan tentang Cessie saja tetapi kadang-kadang juga menyimpulkan tentang Cessie saja, tetapi juga menyimpulkan keputusan-keputusan mengenai perkara lain, tetapi yang dapat secara analogi dipakai sebagai patokan untuk menjawab pertanyaan yang sedang kita hadapi.
Keputusan yang langsung berhubungan dengan Cessie adalah keputusan H.R. tanggal 29 Desember 1933. Dalam arrest tersebut H.R. mempertimbangkan bahwa “pengoperan tagihan atas nama hanya mungkin (denkbaar en dus rechtens slecjes mogelijk), jika tagihan tersebut pada saat pembuatan akta penyerahan sudah ada dimana dapat diambil sebagai patokan bahwa suatu tagihan dalam arti sebagai yang dimaksud oleh ketentuan undang-undang yang bersangkutan adalah ada”.
Jadi kalau hubungan hukum yang akan melahirkan hak tagih tersebut belum ada maka menurut H.R. tidak bisa orang mengalihkan hak tagihnya.
- Cessie atas benda-benda tak bertubuh lainnya
Termasuk dalam kelompok “benda tak bertubuh lainnya” yang paling penting adalah andil atas nama dalam suatu perseroan. Cara penyerahan andil perseroan biasanya diatur dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Kalaupun anggaran dasar yang bersangkutan tidak mengaturnya, maka K.U.H.D. biasanya memberikan pengaturannya sendiri.
Pada P.T pasal 42 K.U.H.D. memberikan petunjuk mengenai tersebut. Disana dikatakan bahwa penyerahan dapat dilakukan dengan sebuah pemberitahuan (betekening) dari persero yang bersangkutan dan si penerima tentang pengoperan tersebut atau dengan mencatatnya dalam buku perseroan atau pada buku andil yang bersangkutan serta ditanda tangani oleh pengurus.
Perbedaan Cessie Tagihan atas nama adalah bahwa disini hak berpindah bukan atas dasar akta penyerahan , tetapi sejak berpindah bukan atas dasar akta penyerahan, tetapi sejak pemberitahuan atau pengakuan dari perseroan yang bersangkutan. Jadi kalau pemberitahuan pada Cessie tagihan atas nama berfungsi hanya agar Cessie mengikat, belaku terhadap Cessus, maka disini betekening menentukan beralihnya hak atas andil yang bersangkutan.
Hak pengarang dapat dipindah tangankan dengan akta atau dibawah tangan, juga merk dapat dioperkan bersama-sama dengan perusahaan pabrik yang bersangkutan atau secara tersendiri.
- Cessie sebagai jaminan
Pasal 1153 mengatur tentang gadai atas benda-benda bergerak tak berwujud dari luar order atau surat tunjuk (Aan Toonder). Kata “benda bergerak tak berwujud” disana sebenarnya dapat digantikan “tagihan atas nama” karena tagihan order sudah diatur dalam pasal 1152 bis, tagihan atas tunjuk dalam pasal 1152, sedang benda-benda bergerak tak bertubuh lainnya. Menurut pasal 1152, untuk menggadaikan tagihan atas nama, tidak disyaratkan adanya Cessie, tetapi cukup dengan pemberitahuan saja kepada debitur.
Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan, bahwa gadai disini, baru berlaku sesudah ada pemberitahuan. Untuk pemberitahuannya pun tidak disyaratkan untuk dituangkan dalam bentuk Exploit Juru Sita, sehingga pemberitahuan bisa saja sudah cukup. Disini kita melihat perbedaan yang cukup prinsipil dengan Cessie, karena pada Cessie hak milik beralih jadi Levering sudah selesi dengan dibuatnya akta Cessie. Sedangklan pada gadai tagihan atas nama akta seperti itu tidak disyaratkan dan digadai baru berlaku sesudah ada pemberitahuan. Karena dalam gadai disyaratkan bahwa benda gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, maka pemberitahuan kepada debitur dapat disamakan dengan “dikeluarkan dari kekuasaannya” . Sebab sekarang debitur tidak lagi dengan bebas membayar secara sah kepada krediturnya. Dalam hal demikian debitur dapat dituntut agar pemberitahuan dan persetujuan dari pemberi gadai dilakukan secara tertulis agar debitur mempunyai pegangan bukti tertulis.
I. Ruang Lingkup Cessie
Alat Pembuktian
Kertas yang berisi pengakuan hutang atau pernyataan kesanggupan untuk membayar tersebut ada yang dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian, kecuali undang-undang menentukan lain, sebagai salah satu syarat untuk ada lahirnya tagihan tersebut seandainya, surat tagihan yang bersangkutan hilang, maka tagihan tersebut tidak menjadi hapus, hanya berfungsi sebagai “kertas atau tulisan” (alat bukti) tersebut yang menjadi hilang.
Untuk tagihan tertentu, seperti tagihan atas tunjuk (Aan Toornder) dan (Atas Order) tertuang dalam kertas dalam bentuk surat akta tagihan yang tidak hanya berfungsi sebagai alat bukti melainkan juga sebagai perwujudan / realisasi dari tagihan tersebut. Dan disamping itu juga kertas dalam bentuk surat akta tagihan untuk tagihan tertentu, tagihan atas tunjuk (Aan Toonder) dan (Atas Order) memberikan legitiematie kepada pemegangnya sebagai pemilik
J. Subjek-subjek dalam suatu tagihan
Didalam suatu tagihan selalu terlibat 2 pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Kedua pihak tersebut pada umumnya adalah orang yang bersangkutan, khususnya person debitur ynag bersifat novatie (pembaruan utang) subjectif pasif dalam suatu perikatan dan karenanya juga dalam suatu tagihan dalam arti person debiturnya, tidak dapat diganti tanpa persetujuan dari para kreditur, hal ini sangat logis, karena nilai suatu tagihan disamping ditentukan oleh beberapa faktor, juga bergantung dari bonafiditas person debitur.
Lain halnya dengan person kreditur, bagi debitur pada azasnya tidak menjadi soal kepada siapa ia harus membayar, sepanjang jumlah dan semua syarat-syaratnya adalah sama.
Pada masa kini membutuhkan sekali adanya kemungkinan penggantian kreditur pada tagihan-tagihan. Kemungkinan peralihan seperti itu dapat karena memang undang-undang menentukan seperti itu (Cessie pada tagihan atas nama) atau memang diperjanjikan antara pihak kreditur dan debitur dengan cara menuangkannya dalam suatu bentuk tertentu yang diakui dan diatur oleh undang-undang tagihan atas tunjuk “Aan Toonder dan tagihan atas Order”, yang mengatakan bahwa paktek memang membutuhkan dimungkinkannya hal itu, dan memang telah dilaksanakan di dalam praktek.
K. Pengertian Kreditur dan Levering
Seperti yang dikatakan di atas tagihan-tagihan diatas oleh undang-undangan dapat diadakan penggantian subjek kreditur. Penggantian disini berarti bahwa ada kreditur baru yang menjadi pemilik baru atas tagihan tersebut, ada kreditur baru yang mengoper tagihan tersebut perikatan yang melahirkan tagihan tersebut TETAP, yang diganti hanyalah subjek krediturnya saja, sehingga dalam hal ini sebenarnya ada pengoperan KUALITAS krediturnya saja. Konsekuensinya adalah bahwa Accesoir dan Execeptie-nya yang melekat pada perikatan tersebut tetap tidak berubah.
L. Pengaturan Penyerahan Dalam KUH Perdata
Masalah penyerahan dalam KUH Perdata diatur dalam buku II, pada bagian yang membicarakantentang cara memperoleh hak milik kedalam tangan / pemilikan orang lain, karena kita sedang membicarakan penyerahan sebagai cara mengoperkan atau memindahkan hak milik atas suatu tagihan, maka akan ada istilah rechtstitel (peristiwa perdata) dan akan ada hubungannya dengan obligatolir.
Yang dimaksud dengan Rechtstitel (peristiwa) perdata adalah hubungan hukum obligatoir (Obligatoire Rechtsverhouding) yang menimbulkan kewajiban untuk levering atau penyerahan (ke dalam pemilik orang lain).
Senin, 21 September 2009
PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN HAK GUNA BANGUNAN ATAU HAK PAKAI AT
MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa perubahan hak atas tanah pada hakekatnya merupakan penegasan mengenai hapusnya hak atas tanah semula dan pemberian hak atas tanah baru yang jenisnya lain;
b. bahwa dengan hapusnya hak atas tanah semula tersebut maka hapus pula Hak Tanggungan yang membebaninya;
c. bahwa untuk memberi kemudahan kepada pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan untuk memperoleh Hak Milik dan sekaligus memberi kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan, perlu mengatur perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut menjadi Hak Milik;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 1998 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
9. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu;
10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Keten-tuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
11. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) jo Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998;
12. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah;
13. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PER-UBAHAN HAK GUNA BANGUNAN ATAU HAK PAKAI ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENJADI HAK MILIK.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Perubahan hak adalah penetapan Pemerintah yang menegaskan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah baru yang lain jenisnya;
PERTAMA : Bekerjasama mempercepat pelayanan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal yang diberikan dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanah-an Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jo Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998, Nomor 2 Tahun 1998 dan Nomor 6 Tahun 1998 dengan melaksanakan ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Instruksi ini.
KEDUA : Melaksanakan instruksi ini dengan penuh tanggung jawab.
Instruksi ini berlaku mulai tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1998
MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
ttd.
HASAN BASRI DURIN
Tembusan, Instruksi ini disampaikan kepada :
1. Sekretaris dan para Asisten Menteri Negara Agraria;
2. Para Deputi Badan Pertanahan Nasional;
3. BPP IPPAT;
4. DPP ASPPAT;
5. DPP REI;
Lampiran : Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
PETUNJUK PELAKSANAAN PERCEPATAN PELAYANAN PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL
Pasal 1
(1) Pengurusan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal yang diberikan dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional :
a. Nomor 9 Tahun 1997 jo. Nomor 15 tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998,
b. Nomor 2 Tahun 1998, dan
c. Nomor 6 Tahun 1998,
dapat dilakukan sendiri oleh pemohon yang bersangkutan atau dengan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan selaku kuasa dari yang bersangkutan.
(2) Pengurusan pendaftaran Hak Milik yang dilakukan melalui PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengurusan pendaftaran Hak Milik secara individual maupun secara kolektif.
Pasal 2
(1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dilarang membatasi jumlah permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang disampaikan dalam jam kerja kantor, kecuali dengan cara menetapkan penerimaan permohonan untuk wilayah tertentu secara bergiliran dengan ketentuan selang giliran tersebut tidak boleh lebih dari 1 minggu.
(2) Jika beban Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dalam melayani permohonan pendaftaran Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlalu berat, maka hal tersebut dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
(3) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mengatur tata cara kerja yang lebih efisien dan atau memperbantukan tenaga pelaksana dalam bentuk penugasan maupun “task force” dan apabila diperlukan minta bantuan dari Kantor Pusat Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3
(1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya menetapkan jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal sesuai kondisi dan kemampuan kantor masing-masing dan menepati jangka waktu tersebut, dengan ketentuan bahwa untuk permohonan yang diajukan melalui PPAT jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan paling sedikit 2 (dua) minggu lebih lama dari pada yang diajukan oleh pemohon sendiri, dengan mengingat ayat (2) Pasal ini.
(2) Waktu penyelesaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah bekas HGB yang dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional ditetapkan dengan mengingat waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang bersangkutan, sehingga tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.
(3) Penetapan waktu penyelesaian permohonan tersebut dicantumkan pada tanda terima pungutan yang telah dibayar oleh pemohon atau, dalam hal tidak ada pungutan yang harus dibayar, pada tanda terima penerimaan berkas permohonan.
Pasal 4
Dalam membantu pelaksanaan pelayanan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya , PPAT bertanggung- jawab atas dan melakukan kegiatan sebagai berikut :
1. mengadakan formulir permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal dan formulir pemberitahuan Penetapan Uang Pemasukan, baik dengan memperolehnya dari Kantor Pertanahan maupun dengan mencetak/memfotocop y sendiri dengan map yang bentuknya ditentukan Kantor Pertanahan;
2. memberikan penyuluhan kepada pemohon mengenai ketentuan yang berkaitan dengan peraturan perundang-undanagn yang mengatur pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal;
3. Menerima sertipikat dan dokumen lainnya yang diperlukan sebagai syarat pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal;
4. memeriksa kelengkapan syarat-syarat serta dokumen-dokumen yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku;
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa perubahan hak atas tanah pada hakekatnya merupakan penegasan mengenai hapusnya hak atas tanah semula dan pemberian hak atas tanah baru yang jenisnya lain;
b. bahwa dengan hapusnya hak atas tanah semula tersebut maka hapus pula Hak Tanggungan yang membebaninya;
c. bahwa untuk memberi kemudahan kepada pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan untuk memperoleh Hak Milik dan sekaligus memberi kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan, perlu mengatur perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut menjadi Hak Milik;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 1998 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
9. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu;
10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Keten-tuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
11. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) jo Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998;
12. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah;
13. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PER-UBAHAN HAK GUNA BANGUNAN ATAU HAK PAKAI ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENJADI HAK MILIK.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Perubahan hak adalah penetapan Pemerintah yang menegaskan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah baru yang lain jenisnya;
PERTAMA : Bekerjasama mempercepat pelayanan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal yang diberikan dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanah-an Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jo Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998, Nomor 2 Tahun 1998 dan Nomor 6 Tahun 1998 dengan melaksanakan ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Instruksi ini.
KEDUA : Melaksanakan instruksi ini dengan penuh tanggung jawab.
Instruksi ini berlaku mulai tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1998
MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
ttd.
HASAN BASRI DURIN
Tembusan, Instruksi ini disampaikan kepada :
1. Sekretaris dan para Asisten Menteri Negara Agraria;
2. Para Deputi Badan Pertanahan Nasional;
3. BPP IPPAT;
4. DPP ASPPAT;
5. DPP REI;
Lampiran : Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
PETUNJUK PELAKSANAAN PERCEPATAN PELAYANAN PENDAFTARAN HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL
Pasal 1
(1) Pengurusan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal yang diberikan dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional :
a. Nomor 9 Tahun 1997 jo. Nomor 15 tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998,
b. Nomor 2 Tahun 1998, dan
c. Nomor 6 Tahun 1998,
dapat dilakukan sendiri oleh pemohon yang bersangkutan atau dengan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan selaku kuasa dari yang bersangkutan.
(2) Pengurusan pendaftaran Hak Milik yang dilakukan melalui PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengurusan pendaftaran Hak Milik secara individual maupun secara kolektif.
Pasal 2
(1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dilarang membatasi jumlah permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang disampaikan dalam jam kerja kantor, kecuali dengan cara menetapkan penerimaan permohonan untuk wilayah tertentu secara bergiliran dengan ketentuan selang giliran tersebut tidak boleh lebih dari 1 minggu.
(2) Jika beban Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dalam melayani permohonan pendaftaran Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlalu berat, maka hal tersebut dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
(3) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mengatur tata cara kerja yang lebih efisien dan atau memperbantukan tenaga pelaksana dalam bentuk penugasan maupun “task force” dan apabila diperlukan minta bantuan dari Kantor Pusat Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 3
(1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya menetapkan jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal sesuai kondisi dan kemampuan kantor masing-masing dan menepati jangka waktu tersebut, dengan ketentuan bahwa untuk permohonan yang diajukan melalui PPAT jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan paling sedikit 2 (dua) minggu lebih lama dari pada yang diajukan oleh pemohon sendiri, dengan mengingat ayat (2) Pasal ini.
(2) Waktu penyelesaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah bekas HGB yang dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional ditetapkan dengan mengingat waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang bersangkutan, sehingga tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.
(3) Penetapan waktu penyelesaian permohonan tersebut dicantumkan pada tanda terima pungutan yang telah dibayar oleh pemohon atau, dalam hal tidak ada pungutan yang harus dibayar, pada tanda terima penerimaan berkas permohonan.
Pasal 4
Dalam membantu pelaksanaan pelayanan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya , PPAT bertanggung- jawab atas dan melakukan kegiatan sebagai berikut :
1. mengadakan formulir permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal dan formulir pemberitahuan Penetapan Uang Pemasukan, baik dengan memperolehnya dari Kantor Pertanahan maupun dengan mencetak/memfotocop y sendiri dengan map yang bentuknya ditentukan Kantor Pertanahan;
2. memberikan penyuluhan kepada pemohon mengenai ketentuan yang berkaitan dengan peraturan perundang-undanagn yang mengatur pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal;
3. Menerima sertipikat dan dokumen lainnya yang diperlukan sebagai syarat pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal;
4. memeriksa kelengkapan syarat-syarat serta dokumen-dokumen yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku;
Selasa, 15 September 2009
Juklak PPh Final Pengalihan Tanah/Bangunan
Sehubungan dengan atas Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat) masih menimbulkan pertanyaan maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE – 80/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Hal-hal yang diatur dalam SE – 80/PJ/2009 adalah sebagai beikut:
Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan :
paling lama 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran, dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran;
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak.
Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang. Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dicabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir 5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009;
2) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi;
3) permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditegaskan bahwa :
1) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib memiliki NPWP;
2) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB);
3) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi.
Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan :
paling lama 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran, dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran;
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak.
Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang. Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dicabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir 5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009;
2) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi;
3) permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditegaskan bahwa :
1) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib memiliki NPWP;
2) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB);
3) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi.
Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
Pada saat Wajib Pajak diperiksa dapat terjadi hasil pemeriksaan yang produknya berupa ketetapan pajak tidak disetujui oleh Wajib Pajak dengan berbagai macam alasan. Upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak adalah dengan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal pajak. Ketentuan terbaru mengenai Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan telah diterbitkan dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 49/PJ./2009 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan serta Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE – 87/PJ/2009, sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Berikut akan dibahas hal-hal yang diatur oleh ketentuan baru tersebut.
Produk Hukum yang dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Syarat Pengajuan Keberatan
Pengajuan keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotong pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4. melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
5. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur);dan
6. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf d hanya berlaku untuk pengajuan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang berkaitan dengan Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan seterusnya.
Form Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan dengan menggunakan formulir surat keberatan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Permohonan keberatan tidak memenuhi persyaratan
* Dalam hal surat keberatan tidak memenuhi persyaratan , keberataan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
* Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa surat keberatannya tidak memenuhi persyaratan.
Permintaan keterangan secara tertulis
* Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau penghitungan rugi.
* Direktur Jenderal Pajak harus memberi keterangan secara tertulis yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima.
* Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Tata Cara Pengajukan Keberatan
Surat keberatan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan:
1. secara langsung;
2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;atau
3. dengan cara lain.
Penyampaian surat keberatan dengan cara lain sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi:
1. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;atau
2. e-Filing melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
Proses Penyelesaian Keberatan
Untuk keperluan penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak secara tertulis dapat :
1. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy ; dan/atau
2. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan.
Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat peminjaman dan/atau permintaan.
Apabila sampai dengan batas waktu 15 hari di atas Wajib Pajak belum meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau belum memberikan keterangan yang diminta, dilakukan peminjaman dan/atau permintaan kedua paling lama 5 (lima) hari kerja sejak batas waktu tersebut berakhir.
Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan kedua spaling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat peminjaman dan/atau permintaan kedua.
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya peminjaman dan/atau permintaan, keberatan diproses berdasarkan data yang diperoleh dalam proses penyelesaian keberatan.
Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak harus meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Untuk Hadir.
Pencabutan Keberatan
Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan sepanjang Surat Pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
Keputusan Keberatan
* Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal bukti penerimaan surat keberatan.
* Keputusan atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
* Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah terlampaui tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, Surat Keputusan Keberatan harus diterbitkan dengan mengabulkan seluruh keberatan yang diajukan Wajib Pajak
Produk Hukum yang dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Syarat Pengajuan Keberatan
Pengajuan keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotong pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4. melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
5. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur);dan
6. ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf d hanya berlaku untuk pengajuan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang berkaitan dengan Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan seterusnya.
Form Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan dengan menggunakan formulir surat keberatan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Permohonan keberatan tidak memenuhi persyaratan
* Dalam hal surat keberatan tidak memenuhi persyaratan , keberataan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
* Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa surat keberatannya tidak memenuhi persyaratan.
Permintaan keterangan secara tertulis
* Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau penghitungan rugi.
* Direktur Jenderal Pajak harus memberi keterangan secara tertulis yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima.
* Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Tata Cara Pengajukan Keberatan
Surat keberatan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan:
1. secara langsung;
2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;atau
3. dengan cara lain.
Penyampaian surat keberatan dengan cara lain sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi:
1. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;atau
2. e-Filing melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
Proses Penyelesaian Keberatan
Untuk keperluan penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak secara tertulis dapat :
1. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy ; dan/atau
2. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan.
Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat peminjaman dan/atau permintaan.
Apabila sampai dengan batas waktu 15 hari di atas Wajib Pajak belum meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau belum memberikan keterangan yang diminta, dilakukan peminjaman dan/atau permintaan kedua paling lama 5 (lima) hari kerja sejak batas waktu tersebut berakhir.
Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan kedua spaling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat peminjaman dan/atau permintaan kedua.
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya peminjaman dan/atau permintaan, keberatan diproses berdasarkan data yang diperoleh dalam proses penyelesaian keberatan.
Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak harus meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Untuk Hadir.
Pencabutan Keberatan
Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan sepanjang Surat Pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
Keputusan Keberatan
* Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal bukti penerimaan surat keberatan.
* Keputusan atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
* Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah terlampaui tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, Surat Keputusan Keberatan harus diterbitkan dengan mengabulkan seluruh keberatan yang diajukan Wajib Pajak
NLP: Satu Bentuk Pragmatisme
I think the more you want to become more and more creative you have to not only elicit other peoples’ (plural) strategies and replicate them yourself, but also modify others’ strategies and have a strategy that creates new creativity strategies based on as many wonderful states as you can design for yourself. Therefore, in a way, the entire field of NLP™ is a creative tool, because I wanted to create something new.
(Richard Bandler)
Dalam bahasa sehari-hari Khrisnamurti (I am not sure that this was the right spelling), kala kita berpikir bahwa suatu barang ringan, maka ringanlah dia.
Sebelum kita semua tertawa, mari kita lihat dulu siapa sebenarnya Richard Bandler ini.
Bandler adalah seorang ahli matematika yang bersama John Grinder, seorang ahli bahasa, pada pertengahan 1970-an mulai mengembangkan NLP. Ketertarikan mereka dipicu beberapa hal. Pertama, orang-orang yang sukses. Kedua, psikologi. Ketiga, bahasa. Keempat, pemrograman komputer. NLP jelas bukan satu hal yang mudah didefinisikan. Untuk menjelaskan hal itu pun, bahkan para ahlinya kerap menggunakan satu metafora bahwa NLP merupakan satu peranti lunak bagi otak untuk membuat otak bekerja karena pada dasarnya kita tidak diberikan manual saat diberikan otak oleh Tuhan.
Prinsip-prinsip NLP sangat bergantung pada beberapa hal. Pertama, gagasan tentang pikiran bawah sadar yang secara terus-menerus mempengaruhi pikiran dan tindakan. Kedua, perilaku dan tuturan metaforis, terutama yang dibangun di atas metode-metode yang digunakan Freud dalam interpretasi mimpi. Ketiga, hipnoterapi Milton Erickson. NLP juga dipengaruhi pemikiran-pemikiran Noam Chomsky—dari wilayah linguistik.
Pada dasarnya, NLPmengajarkan pada orang berbagai skill komunikasi dan persuasi dan mengubah serta memotivasi orang dengan menggunakan metode-metode hipnotis-diri. Bhakan beberapa tokoh NLP–seperti juga Khrisnamurti— mengklaim bahwa mereka bisa mengajarkan satu metode yang tak mungkin salah untuk mengetahui ketika seseorang berbohong atau tidak, namun ahli NLP lain menyatakan bahwa itu tidak mungkin dilakukan.
Satu prinsip dasar NLP yang mengandung fallacy yang kental disertai warna metafisika yang kuat adalah bahwa ”jika seseorang bisa melakukan sesuatu, maka orang-orang lain pun akan dapat melakukannya” . Perbedaan antara kita Einsten dan Maradona berarti hanya dipisahkan oleh NLP!
NLP dikatakan sebagai studi struktur pengalaman subyektif, namun fokus perhatian lebih diarahkan pada langkah-langkah pengamatan perilakau dan mengajarkan kepada orang bagaimana cara membaca bahasa tubuh. Padahal, bahasa tubuh merupakan satu hal yang maknanya hanya bisa ditemukan secara kultural dan sosial. Artinya, tidak ada makna inheren dalam satu bahasa tubuh karena tidak ada universalitas di dalamnya.
Selain itu, interpretasi atas bahasa tubuh tersebut pun tidak dapat diverifikasi sehingga sulit untuk dianggap sebagai pengetahuan, apalagi diperlakukan sebagai scintific method. Misalnya, jika saya mengatakan bahwa saat saya melihat seorang gadis tersenyum ke arah saya, saya mengartikan bahwa senyum itu bermakna sang gadis menyukai saya dan pikirannya bekerja memikirkan rasa sukanya. Dari mana saya bisa mengetahui apakah interpretasi itu benar atau tidak? Jika sanga gadis mengonfirmasi interpretasi saya tersebut, dari mana saya bisa tahu bahwa dia menjawab dengan jujur? Ini sama saja dengan kerja seorang dukun yang menyatakan bahwa pada masa lalu saya adalah seorang raja yang hidup di sebuah negeri yang amat kaya raya: Anda tidak bisa menguji apakah itu benar atau tidak.
Dalam banyak perspektif ilmu sosial, klaim-klaim NLP dianggap sebagai metafisik yang tak berdasar. Jika ingin berkomentar lebih sopan, saya akan mengatakan bahwa NLP tidak lebih dari upaya segelintir orang yang sedikit belajar ini-itu untuk memunculkan satu pemikiran ilmiah yang menyerupai spiritualitas dengan mengeksploitasi hasrat orang-orang dan pemikiran mainstream yang berkembang akan gagasan-gagasan voluntaristik yang optimistis. Dalam kalimat pendek, menjajakan NLP sama dengan memproduseri film dan sinetron murahan yang menggambarkan bionic woman dan six million dollar man!
Paradigma voluntaristik yang kental membayangi premis-premis NLP rasanya lebih tepat dimaknai sebagai satu hal yang kemunculannya dipicu oleh semangat agentif yang kental, semangat ubermansch manusia yang lelah menghadapi batasan-batasan alamiahnya. Pada rentang tertentu, ini masuk akal dan dapat ditoleransi, namun jika kita harus menggunakan mantera-mantera ”kapas ringan” untuk mengangkat sebuah truk gandeng, misalnya, ini jelas metafisik alias tahayul.
Klaim-klaim NLP tentang pikiran dan persepsi tidak pernah disertai dukungan dari neuroscience. Klaim-klaim tersebut datang dari sumber yang gelap dan tak terverifikasi serta bersifat metafisik, kurang lebih sama dengan konsep motivasi dalam teori strukturasi Anthony Giddens.
Pembelaan dari NLP bukan tidak ada. Pembelaan utama mereka adalah pengakuan dari para NLPers bahwa metode-metode mereka memang bersifat pragmatis (baca pragmatisme John Dewey). Yang penting berhasil. Pembelaan itu menjadi satu-satunya benteng NLP menghadapi kritik atas tidak validnya klaim-klaim mereka. Tapi, ada satu hal yang membuat saya berpikir. Kalau hanya untuk melakukan hal-hal hebat yang metafisik, masih banyak metode pragmatis lain yang tidak perlu membuat kita menghabiskan puluhan juta rupiah untuk mendapatkannya: jimat banten salah satunya. Iya toh?
Tanpa pemaparan tidakjelas tapi bergaya ilmiah plus lokakarya yang serupa dengan dolanan khas Taman Indria, rasanya kita masih bisa mencapai hal-hal pragmatis dalam hidup secara gempang kok….
What a huge waste of money and time!
(Richard Bandler)
Dalam bahasa sehari-hari Khrisnamurti (I am not sure that this was the right spelling), kala kita berpikir bahwa suatu barang ringan, maka ringanlah dia.
Sebelum kita semua tertawa, mari kita lihat dulu siapa sebenarnya Richard Bandler ini.
Bandler adalah seorang ahli matematika yang bersama John Grinder, seorang ahli bahasa, pada pertengahan 1970-an mulai mengembangkan NLP. Ketertarikan mereka dipicu beberapa hal. Pertama, orang-orang yang sukses. Kedua, psikologi. Ketiga, bahasa. Keempat, pemrograman komputer. NLP jelas bukan satu hal yang mudah didefinisikan. Untuk menjelaskan hal itu pun, bahkan para ahlinya kerap menggunakan satu metafora bahwa NLP merupakan satu peranti lunak bagi otak untuk membuat otak bekerja karena pada dasarnya kita tidak diberikan manual saat diberikan otak oleh Tuhan.
Prinsip-prinsip NLP sangat bergantung pada beberapa hal. Pertama, gagasan tentang pikiran bawah sadar yang secara terus-menerus mempengaruhi pikiran dan tindakan. Kedua, perilaku dan tuturan metaforis, terutama yang dibangun di atas metode-metode yang digunakan Freud dalam interpretasi mimpi. Ketiga, hipnoterapi Milton Erickson. NLP juga dipengaruhi pemikiran-pemikiran Noam Chomsky—dari wilayah linguistik.
Pada dasarnya, NLPmengajarkan pada orang berbagai skill komunikasi dan persuasi dan mengubah serta memotivasi orang dengan menggunakan metode-metode hipnotis-diri. Bhakan beberapa tokoh NLP–seperti juga Khrisnamurti— mengklaim bahwa mereka bisa mengajarkan satu metode yang tak mungkin salah untuk mengetahui ketika seseorang berbohong atau tidak, namun ahli NLP lain menyatakan bahwa itu tidak mungkin dilakukan.
Satu prinsip dasar NLP yang mengandung fallacy yang kental disertai warna metafisika yang kuat adalah bahwa ”jika seseorang bisa melakukan sesuatu, maka orang-orang lain pun akan dapat melakukannya” . Perbedaan antara kita Einsten dan Maradona berarti hanya dipisahkan oleh NLP!
NLP dikatakan sebagai studi struktur pengalaman subyektif, namun fokus perhatian lebih diarahkan pada langkah-langkah pengamatan perilakau dan mengajarkan kepada orang bagaimana cara membaca bahasa tubuh. Padahal, bahasa tubuh merupakan satu hal yang maknanya hanya bisa ditemukan secara kultural dan sosial. Artinya, tidak ada makna inheren dalam satu bahasa tubuh karena tidak ada universalitas di dalamnya.
Selain itu, interpretasi atas bahasa tubuh tersebut pun tidak dapat diverifikasi sehingga sulit untuk dianggap sebagai pengetahuan, apalagi diperlakukan sebagai scintific method. Misalnya, jika saya mengatakan bahwa saat saya melihat seorang gadis tersenyum ke arah saya, saya mengartikan bahwa senyum itu bermakna sang gadis menyukai saya dan pikirannya bekerja memikirkan rasa sukanya. Dari mana saya bisa mengetahui apakah interpretasi itu benar atau tidak? Jika sanga gadis mengonfirmasi interpretasi saya tersebut, dari mana saya bisa tahu bahwa dia menjawab dengan jujur? Ini sama saja dengan kerja seorang dukun yang menyatakan bahwa pada masa lalu saya adalah seorang raja yang hidup di sebuah negeri yang amat kaya raya: Anda tidak bisa menguji apakah itu benar atau tidak.
Dalam banyak perspektif ilmu sosial, klaim-klaim NLP dianggap sebagai metafisik yang tak berdasar. Jika ingin berkomentar lebih sopan, saya akan mengatakan bahwa NLP tidak lebih dari upaya segelintir orang yang sedikit belajar ini-itu untuk memunculkan satu pemikiran ilmiah yang menyerupai spiritualitas dengan mengeksploitasi hasrat orang-orang dan pemikiran mainstream yang berkembang akan gagasan-gagasan voluntaristik yang optimistis. Dalam kalimat pendek, menjajakan NLP sama dengan memproduseri film dan sinetron murahan yang menggambarkan bionic woman dan six million dollar man!
Paradigma voluntaristik yang kental membayangi premis-premis NLP rasanya lebih tepat dimaknai sebagai satu hal yang kemunculannya dipicu oleh semangat agentif yang kental, semangat ubermansch manusia yang lelah menghadapi batasan-batasan alamiahnya. Pada rentang tertentu, ini masuk akal dan dapat ditoleransi, namun jika kita harus menggunakan mantera-mantera ”kapas ringan” untuk mengangkat sebuah truk gandeng, misalnya, ini jelas metafisik alias tahayul.
Klaim-klaim NLP tentang pikiran dan persepsi tidak pernah disertai dukungan dari neuroscience. Klaim-klaim tersebut datang dari sumber yang gelap dan tak terverifikasi serta bersifat metafisik, kurang lebih sama dengan konsep motivasi dalam teori strukturasi Anthony Giddens.
Pembelaan dari NLP bukan tidak ada. Pembelaan utama mereka adalah pengakuan dari para NLPers bahwa metode-metode mereka memang bersifat pragmatis (baca pragmatisme John Dewey). Yang penting berhasil. Pembelaan itu menjadi satu-satunya benteng NLP menghadapi kritik atas tidak validnya klaim-klaim mereka. Tapi, ada satu hal yang membuat saya berpikir. Kalau hanya untuk melakukan hal-hal hebat yang metafisik, masih banyak metode pragmatis lain yang tidak perlu membuat kita menghabiskan puluhan juta rupiah untuk mendapatkannya: jimat banten salah satunya. Iya toh?
Tanpa pemaparan tidakjelas tapi bergaya ilmiah plus lokakarya yang serupa dengan dolanan khas Taman Indria, rasanya kita masih bisa mencapai hal-hal pragmatis dalam hidup secara gempang kok….
What a huge waste of money and time!
KAPITALISME: SERING TERDENGAR, TAK BANYAK YANG PAHAM
Kapitalisme adalah satu kata yang kerap muncul dalam berbagai ruang. Namun, ternyata–ini menyedihkan–bagi banyak orang, kapitalisme sekadar kata yang memiliki bunyi. Maknanya jauh masih di awang sana.
Kapitalisme
Dalam berbagai paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan globalisasi merupakan fenomena-fenomena yang terkait. Imperialisme berarti politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperium. Menguasai di sini tidak berarti merebut dengan kekuasaan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama, dan ideologi, asalkan dengan paksaan.
Dalam definisi lain, imperialisme dikatakan sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah satu negara dengan melakukan penaklukan teritorial yang menjadi dasar pembentukan dominasi politik dan ekonomi terhadap negara-negara lain yang bukan merupakan koloninya (http://en.wikipedia .org/wiki/ Imperialism). Dalam semua definisi imperialisme, ada beberapa konsep yang selalu muncul: perluasan wilayah, penguasaan atau dominasi dengan paksaan (koersi), dan dominasi politik, budaya, serta ekonomi.
V.I. Lenin menyatakan bahwa bahwa kapitalisme mencakup kapitalisme monopoli sebagai imperialisme untuk menemukan bisnis dan sumber daya baru (Lenin, 1916 dalam http://www.marxist. org). Definisi Lenin, “the highest stage of capitalism” mengacu pada saat ketika monopoli kapital finansial mendominasi, memaksa negara dan korporasi swasta bersaing untuk mengontrol sumber daya alam dan pasar.
Karl Marx juga mengidentifikasi kolonialisme sebagai salah satu aspek prahistori moda produksi kapitalis. Selain itu, teori imperialisme Marxist, dan teori dependensi yang terkait, menekankan pada hubungan ekonomi antarnegara (dan di dalam negara-negara) , alih-alih hubungan formal politik dan militer. Dengan begitu, imperialisme tidak selalu berupa satu hubungan kontrol yang formal satu negara atas negara lain, melainkan eksploitasi ekonomi satu negara atas negara lain.
Dalam periodisasi yang lazim, imperialisme dibagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah imperialisme kuno atau (ancient imperialism), yang intinya adalah prinsip gold, gospel, dan glory. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugis. Periode kedua adalah imperialisme modern, yang intinya adalah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern muncul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang luas. Para imperialis mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi surplus kapitalis (http://id.wikipedia.org/ wiki/Imperialism e).
Unsur selanjutnya adalah kolonialisme. Kolonialisme merupakan pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut (http://id.wikipedia .org/wiki/ Kolonialisme). Definisi kolonialisme menyatakan bahwa kolonialisme merupakan satu praktik dominasi yang melibatkan subjugasi satu orang terhadap yang lain.
Seperti imperialisme, kolonialisme juga melibatkan kontrol politik dan ekonomi terhadap satu teritori yang dependen. Kolonialisme sangat sulit dibedakan dari imperialisme. Satu-satunya perbedaan hanya dapat dilihat dari etimologi kedua konsep tersebut. Istilah koloni berasal dari kata Latin colonus, yang berarti ‘petani’. Ini mengingatkan kita pada praktik kolonialisme yang biasanya melibatkan proses pemindahan populasi ke satu wilayah, di mana mereka akan tinggal di tempat tersebut secara permanen dan tetap mempertahankan afiliasi politik dengan negara asalnya. Di sisi lain, imperialisme berasal dari kata Latin imperium, yang berarti ‘memerintah’. Dengan demikian, imperialisme lebih merupakan cara bagaimana satu negara menjalankan kekuasaan atas negara lain, apakah melalui pembentukan koloni, kemakmuran, atau mekanisme kontrol tak langsung (http://plato. stanford. edi/entries/ colonialism).
Sementara itu, kapitalisme secara umum mengacu pada satu sistem ekonomi yang di dalamnya semua atau sebagian besar alat-alat produksi dimiliki secara privat dan dioperasikan demi keuntungan (http://en.wikipedi a.org/wiki/ Capitalism) . Selain itu, dalam sistem ini, investasi, distribusi, pendapatan, produksi, dan penentuan harga barang-barang dan jasa ditentukan melalui operasi ekonomi pasar. Kapitalisme biasanya melibatkan hak-hak individu dan sekelompok individu yang berperan sebagai “orang-orang legal” atau korporasi-korporasi yang memperdagangkan barang-barang kapital, buruh, dan uang.
Ada beberapa pengertian lain soal kapitalisme. Yang pertama adalah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19–yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
Yang kedua, kapitalisme adalah teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran. Ketiga, kapitalisme dianggap sebagai suatu keyakinan mengenai keuntungan dari menjalankan hal-hal semacam itu. Keempat, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa dengan ciri-ciri: sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; dan modal kapital (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Nicholas Garnham dalam Capitalism and Communication: Global Culture and the Economics of Information mendefinisikan kapitalisme sebagai “a mode of social organization characterized by the domination of exchange relation”. Lebih jauh lagi, Garnham menegaskan bahwa hubungan partikular antara yang abstrak dan yang konkret, atau antara gagasan-gagasan dan hal-hal, yang relevan bagi materialisme historis sebagai satu moda analisis kapitalisme, berakar pada hubungan nyata antara yang abstrak (relasi pertukaran) dan yang konkret (pengalaman hidup individu, tenaga kerja, dsb.) (Garnham, 1990:22).
Ada beberapa elemen kunci yang kerap disebut dalam pendefinisian kapitalisme: sistem, modal (kapital), kepemilikan individu, proses produksi, kompetisi, pasar bebas, investasi, dan profit. Kata-kata kunci ini menjadi faktor determinan dalam implikasi-implikasi praktis operasi kapitalisme dan itu akan terlihat dalam sejarah panjang perkembangan kapitalisme.
Pada umumnya para sejarawan ekonomi sepakat bahwa kapitalisme sebagai moda pengorganisasian kehidupan sosial dan ekonomi tidak hanya dimulai di satu tempat di dunia, dalam hal ini Eropa Barat Laut, melainkan sejak tahap sangat awal, ketika masih dalam proses pembentukan pada abad ke-16, yang melibatkan ekspansi ke luar yang secara bertahap melintasi wilayah-wilayah yang kian luas di dunia dalam satu jaringan pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu berkembang menjadi pasar dunia bagi barang-barang dan jasa, atau bagi pembagian kerja internasional (division of labour). Pada akhir abad ke-19, proyek satu ekonomi dunia yang kapitalistik telah terbangun dalam arti bahwa lingkup hubungan-hubungan mencakup semua wilayah geografis dunia (Hoogvelt, 1997: 14).
Abad ke-19 secara khusus mencuat sebagai waktu utama perkembangan pembagian kerja internasional. Diperkirakan bahwa dalam tiap dekade pada abad ke-19, perdagangan dunia tumbuh 11 kali lebih cepat dari produksi dunia, dan pada 1913, saat Perang Dunia I, 33 persen produksi dunia diperdagangkan di luar batas nasional negara-negara (Horvat, 1968:611 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Ini sejalan dengan yang diungkapkan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory (1996). Ritzer menyatakan bahwa Revolusi Industri yang terjadi hampir di seluruh masyarakat Barat, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20–bersama berbagai perkembangan yang terkulminasi menjadi transformasi dunia Barat dari masyarakat agriluktur menjadi satu sistem masyarakat Industri–memunculkan satu sistem masyarakat di mana muncul birokrasi ekonomi yang besar untuk melayani banyak kebutuhan industri dan sistem ekonomi kapitalis yang baru muncul. Sasaran ideal dari sistem kapitalisme ini adalah pasar bebas, di mana berbagai produk industri dapat ditransaksikan (Ritzer, 1996: 6-7). Bagian dari dunia yang kini disebut sebagai Dunia Ketiga, yakni Amerika Selatan, Afrika, Asia–terkecuali Jepang–, berpartisipasi secara penuh dalam pasar internasional. Pada 1913, Dunia Ketiga menangkap 50 persen pasar dunia (bandingkan dengan 22 persen saat ini) (Mun, 1928:5 dalam Hoogvelt, 1997:14).
Praktik ekonomi kapitalistik terinstitusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk awal kapitalisme perdagangan (merchant capitalism) berkembang pada Abad Pertengahan. Menurunnya feodalisme pada saat itu mengikis kekangan politis dan religius tradisional dalam pertukaran-pertukar an kapitalis. Hal-hal yang menyulitkan terjadinya akumulasi kapital–seperti tradisi dan kontrol, aturan-aturan aristokrasi, yang mengambil alih kapital melalui denda secara sewenang-wenang, dan pajak, pada abad ke-18–berhasil diatasi dan kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang dominan di United Kingdom dan pada abad ke-19 kapitalisme menjadi sistem ekonomi dominan di Eropa. Setelah menguasai Eropa, kapitalisme secara bertahap menyebar dari Eropa, khususnya dari Britania, melintasi batas-batas politik dan budaya. Pada abad ke-19 dan 20, kapitalisme menyediakan perangkat-perangkat utama industrialisasi ke sebagian besar penjuru dunia (http://en.wikipedia .org/wiki/ Capitalism).
Periode awal kapitalisme atau merchant capitalism atau merkantilisme ini juga disebut sebagai kapitalisme perdagangan. Periode ini dikaitkan dengan penemuan-penemuan oleh pedagang-pedagang lintasnegara– terutama dari Inggris dan Negara-Negara Dataran Rendah–, kolonisasi Eropa terhadap Amerika, dan pertumbuhan pesat perdagangan lintasnegara. Merkantilisme adalah sistem perdagangan demi profit, meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi oleh metode produksi nonkapitalis. Di bawah merkantilisme, para pedagang Eropa, dengan dukungan kontrol, subsidi, dan monopoli negara, mendapatkan keuntungan dari pembelian dan penjualan barang-barang. Francis Bacon menyatakan bahwa tujuan merkantilisme adalah “the opening and well-balancing of trade; the cherishing of manufacturers; the banishing of idleness; the repressing of waste and excess by sumptuary laws; the improvement and husbanding of the soil; the regulation of prices…” (Bacon dalam The Seventeenth Century, 1961, dalam http://en.wikipedia .org/wiki/ Capitalism).
Para perintis merkantilisme menekankan pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri sebagai kebijakan utama dari kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara tidak mempunya bahan mentahnya, maka mereka mesti mendapatkan koloni yang akan menjadi sumber bahan mentah yang dibutuhkan. Koloni juga akan berperan sebagai pasar barang jadi. Agar tidak terjadi kompetisi, koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan dengan pihak lain. Dalam situasi ini, terwujudlah pembagian kerja (division of labor) internasional.
Seperti dikatakan oleh Immanuel Wellerstein, kita menyebut pembagian kerja internasional ini sebagai ekonomi dunia kapitalis karena kriteria definitifnya adalah produksi barang dan jasa untuk dijual di pasar yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan profit (dalam Wellerstein, 1979 dalam Hoogvelt, 1997: 14). Dalam pasar kapitalistik, kekuatan permintaan dan penawaran yang tampaknya netrallah yang menentukan harga satu produk dan dengan demikian memberi sinyal kepada produsen apakah mereka mesti melakukan ekspansi produk, mengurangi output, atau mengubah teknik produksi, mengurangi struktur biaya, dan sebagainya. Dengan kata lain, melalui medium tangan tak terlihat (invisible hands) Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776)–yang telah menjadi menjadi “global invisible hand” pada akhir abad ke-19–aktivitas manusia dikoordinasikan secara rapi melintasi batas-batas nasional (Hoogvelt, 1997: 15).
Dari uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul dalam pembahasan kritis soal kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Beberapa karakter tersebut adalah penguasaan (baik secara koersif atau nonkoersif), eksploitasi (baik terhadap sumber daya alam dan manusia atau pada pemikiran), keuntungan atau profit (bagi negara-negara pelaku, yang selalu berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara), ekonomi (yang menjadi latar belakang pendorong), dan hubungan yang sarat dengan ketidaksetaraan (satu atau sekelompok diuntungkan dan yang lain dirugikan). Ketiga konsep tersebut dalam analisis yang fokus pada pendekatan histori maupun analisis, kerap berkaitan satu sama lain. Itu bisa terlihat dari teori periodisasi di bawah ini.
Sejumlah ilmuwan yang fokus pada sistem dunia memunculkan proposisi soal periodisasi perkembangan kapitalisme, yang di dalamnya karakteristik kapital inti dan hubungannya dengan wilayah periferal sangat beragam. Perbedaan-perbedaan itu dilihat sebagai satu hasil dialektis dari kontradiksi- kontradiksi yang ditimbulkan dalam tiap periode interaksi. Para ilmuwan Neo-Marxist, seperti Samir Amin, Andre Gunder Frank, Ernest Mandel, Albert Szymanski, dan Harry Magdoff, secara umum mengidentifikasi tahap prakompetitif merkantilis (1500-1800), tahap kapitalis kompetitif (1800-1880), tahap monopoli/imperialis (1880-1960), dan beberapa ilmuwan bahkan mengidentifikasi satu tahap monopoli imperialis/kapitali s lanjutan (yang dimulai oleh krisis pada 1968).
Dalam tiap periode, periferi menjalankan fungsi tertentu dalam melayani kebutuhan-kebutuhan esensial akumulasi di sentral. Namun, kebutuhan-kebutuhan esensial ini berubah akibat hasil gemilang pelayanan tersebut. Dan karena interaksi dialektis antara core dan periferi memunculkan tingkat perbedaan perkembangan yang kian meningkat di core dan periferi dalam tiap periode, core dan periferi terpisah kian jauh, menuju satu titik krisis dalam hubungan tersebut, yang kemudian diatasi dengan mengubah struktur formalnya dan metode akstraksi surplus dari core ke periferi (Hoogvelt, 1997: 16).
Sementara itu, Ankie Hoogvelt juga memunculkan periodisasi ekspansi kapitalisme yang berbeda. Periodisasi yang disebutnya sebagai periodisasi yang dikatakan merupakan periodisasi yang “mengabaikan variasi geografis yang luas”, Hoogvelt membagi ekspansi kapitalisme menjadi empat periode. Yang pertama adalah fase merkantilisme, transfer surplus ekonomi melalui penjarahan dan perampasan yang disamarkan menjadi perdagangan (1500-1800). Kedua, periode kolonial, transfer surplus ekonomi melalui syarat-syarat pedagangan yang tak setara yang dilakukan melalui pembagian kerja internasional yang dilakukan melalui kolonialisme (1800-1950). Yang ketiga adalah periode neo-kolonial, transfer surplus ekonomi melalui developmentalism dan technological rents (1950-70). Yang terakhir adalah pascaimperialisme, transfer surplus ekonomi dilakukan melalui peonage (upaya membuat pengutang melakukan segala sesuatu bagi terutang) utang (1970-saat ini).
Tahap pascaimperialisme, pada akhir abad ke-20, ditandai dengan pertumbuhan eksplosif perusahaan-perusaha an transnasional, yang memicu munculnya postimperialism theory. Para teoris modern business enterprise, seperti Charles A. Conant, Arthur T. Hadley, Jeremiah W. Jenks, Adolf A. Berle, Jr., Peter F. Drucker, dan Alfred D. Chandler, Jr. menyatakan bahwa dalam sejarah ekonomi Barat, selama akhir abad ke-19 dan setelahnya, korporasi-korporasi menjelma menjadi organisasi ekonomi yang paling efisien dalam lingkup transportasi, komunikasi, produksi, distribusi, dan pertukaran yang semakin luas (Becker, Sklar & Hakim, 1999: 11).
Sementara itu, masih dalam kaitannya dengan periodisasi kapitalisme, Thomas L. McPhail dalam Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends (2002) melihat periodisasi kapitalisme itu sebagai bagian dari analisis makro sistem komunikasi massa, yang antara lain dilakukan oleh Harold Innis, Marshal McLuhan, Armand Mattelart, Jacques Ellul, dan George Barnett. Pemaparan periodisasi yang dilakukan McPhail disebut sebagai pembabakan sejarah atau perkembangan historis tren “pengembangan imperium”, yang pada dasarnya menggambarkan perkembangan dominasi, yang amat mirip dalam perkembangan sejarah kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, terutama dari perspektif modernisasi (Daniel Larner, Marion Lavy, Neil Smelser, Samuel Eisenstadt, dan Gabriel Almond), dependensi (Paul Baran, Martin Landsberg, dan banyak peneliti lain), dan teori sistem dunia (Immanuel Wellerstein) .
McPhail menyatakan bahwa tren pertama dalam pengembangan imperium adalah melalui penaklukan militer, yang ia sebut sebagai kolonialisme militer. Yang kedua adalah penaklukan oleh tentara salib Kristen, yang ia sebut sebagai kolonialisme Kristen. Yang berikutnya adalah kolonialisme merkantilisme, yang ia sebut bertahan hingga pertengahan abad ke-20. Satu elemen kunci yang sangat penting dalam kolonialisme merkantilisme, menurut McPhail, adalah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (ini juga disebutkan oleh Nick Stevenson, 1999:34-35 dan McChesney, Wood, dan Foster, 1998, 51-55) karena hal itu memungkinkan terjadinya penyebaran pesan secara cepat dan lebih luas. Berakhirnya PD I dan PD II menandai berakhirnya era kolonialisme militeristik dan menempatkan negara-negara industri sebagai pemimpin jalur vital perdagangan dan praktik komersial global. Ini semua membawa dunia pada periode keempat perkembangan imperium, yakni kolonialisme elektronik. Periode ini diwarnai oleh ketergantungan less developed countries (LDC’s) pada Barat, yang terjadi karena ada ketergantungan perangkat keras komunikasi yang vital dan perangkat lunak yang cuma diproduksi di barat. Selain itu, LDC’s juga amat bergantung pada Barat dalam hal kebutuhan para insinyur, teknisi, yang protokol-protokol yang berkaitan dengan informasi, yang semuanya membentuk sekumpulan norma-norma, niai, nilai, dan ekspektasi asing, yang dalam berbagai tingkat berbeda mengubah budaya, kebiasaan, nilai-nilai dan proses sosialisasi domestik. Semua pemaran ini disebut sebagai electronic colonialism theory (ECT)[1].
Fredric Jameson dan David Harvey, dua ilmuwan Marxis, mengatakan bahwa modernitas dan pascamodernitas merepresentasikan dua fase kapitalisme yang berbeda. Jameson menyatakan bahwa pascamodernitas berhubungan dengan late capitalism atau satu fase kapitalisme multinasional, “informational”, dan “consumerist”. Sementara itu, Harvey mendeskripsikannya sebagai transisi dari Fordism ke akumulasi fleksibel. Gagasan yang sama juga muncul dalam teori-teori “disorganized capitalism”. Pascamodernitas dengan demikian berhubungan dengan satu fase kapitalisme di mana produksi massa barang-barang standar dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berkaitan dengan hal itu, telah digantikan oleh fleksibilitas: bentuk baru produksi.
Ellen Meiksin Wood dalam “Modernity, Postmodernity, or Capitalism?” dalam Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution (McChesney, Wood, dan Foster, 1998), menyatakan bahwa periodisasi melibatkan lebih dari sekadar menelusuri proses perubahan. Memproposisikan satu pergeseran sama artinya dengan menentukan mana yang esensial dalam mendefinisikan satu bentuk sosial seperti kapitalisme. Pergeseran epokal berkaitan dengan transformasi- transformasi dasar dalam beberapa elemen konstitutif dasar satu sistem. Dengan kata lain, periodisasi kapitalisme bergantung pada bagaimana kita mendifinisikan sistem ini sejak awal. Dalam hal ini kita harus memahami bagaimana konsep-konsep modernitas dan pascamodernitas menjelaskan bagaimana orang menggunakan konsep-konsep itu untuk memahami kapitalisme. Dalam kesimpulannya, Wood menyatakan bahwa modernitas telah mati, digantikan oleh kapitalisme.
Apa pun fokus dan penggunaan istilahnya, baik imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme, ada beberapa kesamaan dan warna serta jenis penaklukan dalam periodisasi- periodisasi yang digambarkan di atas. Secara umum, semua periodisasi dimulai dengan penaklukan militer yang dilanjutkan dengan perdagangan sekaligus ekspansi geografis. Pada akhirnya, periodisasi ditutup dengan hilangnya–atau minimnya–peran kekuatan koersif militer dalam penaklukan dan dominasi.
Era terakhir dalam tiap periodisasi selalu diwarnai oleh semakin dominannya unsur-unsur komunikasi dan media komunikasi dalam moda penaklukan, penguasaan, dan dominasi yang lebih halus, yang melibatkan nilai-nilai, norma-norma, dan hal-hal yang jauh dari kesan koersif. Bahkan McPhail menyatakan bahwa periode terakhir, kolonialisme elektronik sebagai satu periode di mana para kolonialis “seeks mind”, sedangkan kolonialisme masih “sought cheap labor”. Secara implisit, McPhail menyatakan ada pergeseran fokus dominasi: dari sesuatu yang bersifat kasar, jelas terlihat, dan fisik menjadi sesuatu yang halus, laten, dan psikis serta mental. Dominasi pada era ini amat sejalan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci[2].
[1] Electronic colonialism merupakan babak selanjutnya dalam pembabakan kolonialisme. Lihat Grafis 1.
[2] Lihat juga McChesney, Wood, dan Foster, 1998: 51-65 dan Stevenson, 1999: 93-109)
source alsujanto
Kapitalisme
Dalam berbagai paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan globalisasi merupakan fenomena-fenomena yang terkait. Imperialisme berarti politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperium. Menguasai di sini tidak berarti merebut dengan kekuasaan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama, dan ideologi, asalkan dengan paksaan.
Dalam definisi lain, imperialisme dikatakan sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah satu negara dengan melakukan penaklukan teritorial yang menjadi dasar pembentukan dominasi politik dan ekonomi terhadap negara-negara lain yang bukan merupakan koloninya (http://en.wikipedia .org/wiki/ Imperialism). Dalam semua definisi imperialisme, ada beberapa konsep yang selalu muncul: perluasan wilayah, penguasaan atau dominasi dengan paksaan (koersi), dan dominasi politik, budaya, serta ekonomi.
V.I. Lenin menyatakan bahwa bahwa kapitalisme mencakup kapitalisme monopoli sebagai imperialisme untuk menemukan bisnis dan sumber daya baru (Lenin, 1916 dalam http://www.marxist. org). Definisi Lenin, “the highest stage of capitalism” mengacu pada saat ketika monopoli kapital finansial mendominasi, memaksa negara dan korporasi swasta bersaing untuk mengontrol sumber daya alam dan pasar.
Karl Marx juga mengidentifikasi kolonialisme sebagai salah satu aspek prahistori moda produksi kapitalis. Selain itu, teori imperialisme Marxist, dan teori dependensi yang terkait, menekankan pada hubungan ekonomi antarnegara (dan di dalam negara-negara) , alih-alih hubungan formal politik dan militer. Dengan begitu, imperialisme tidak selalu berupa satu hubungan kontrol yang formal satu negara atas negara lain, melainkan eksploitasi ekonomi satu negara atas negara lain.
Dalam periodisasi yang lazim, imperialisme dibagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah imperialisme kuno atau (ancient imperialism), yang intinya adalah prinsip gold, gospel, dan glory. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugis. Periode kedua adalah imperialisme modern, yang intinya adalah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern muncul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang luas. Para imperialis mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi surplus kapitalis (http://id.wikipedia.org/ wiki/Imperialism e).
Unsur selanjutnya adalah kolonialisme. Kolonialisme merupakan pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut (http://id.wikipedia .org/wiki/ Kolonialisme). Definisi kolonialisme menyatakan bahwa kolonialisme merupakan satu praktik dominasi yang melibatkan subjugasi satu orang terhadap yang lain.
Seperti imperialisme, kolonialisme juga melibatkan kontrol politik dan ekonomi terhadap satu teritori yang dependen. Kolonialisme sangat sulit dibedakan dari imperialisme. Satu-satunya perbedaan hanya dapat dilihat dari etimologi kedua konsep tersebut. Istilah koloni berasal dari kata Latin colonus, yang berarti ‘petani’. Ini mengingatkan kita pada praktik kolonialisme yang biasanya melibatkan proses pemindahan populasi ke satu wilayah, di mana mereka akan tinggal di tempat tersebut secara permanen dan tetap mempertahankan afiliasi politik dengan negara asalnya. Di sisi lain, imperialisme berasal dari kata Latin imperium, yang berarti ‘memerintah’. Dengan demikian, imperialisme lebih merupakan cara bagaimana satu negara menjalankan kekuasaan atas negara lain, apakah melalui pembentukan koloni, kemakmuran, atau mekanisme kontrol tak langsung (http://plato. stanford. edi/entries/ colonialism).
Sementara itu, kapitalisme secara umum mengacu pada satu sistem ekonomi yang di dalamnya semua atau sebagian besar alat-alat produksi dimiliki secara privat dan dioperasikan demi keuntungan (http://en.wikipedi a.org/wiki/ Capitalism) . Selain itu, dalam sistem ini, investasi, distribusi, pendapatan, produksi, dan penentuan harga barang-barang dan jasa ditentukan melalui operasi ekonomi pasar. Kapitalisme biasanya melibatkan hak-hak individu dan sekelompok individu yang berperan sebagai “orang-orang legal” atau korporasi-korporasi yang memperdagangkan barang-barang kapital, buruh, dan uang.
Ada beberapa pengertian lain soal kapitalisme. Yang pertama adalah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19–yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
Yang kedua, kapitalisme adalah teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran. Ketiga, kapitalisme dianggap sebagai suatu keyakinan mengenai keuntungan dari menjalankan hal-hal semacam itu. Keempat, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa dengan ciri-ciri: sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; dan modal kapital (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Nicholas Garnham dalam Capitalism and Communication: Global Culture and the Economics of Information mendefinisikan kapitalisme sebagai “a mode of social organization characterized by the domination of exchange relation”. Lebih jauh lagi, Garnham menegaskan bahwa hubungan partikular antara yang abstrak dan yang konkret, atau antara gagasan-gagasan dan hal-hal, yang relevan bagi materialisme historis sebagai satu moda analisis kapitalisme, berakar pada hubungan nyata antara yang abstrak (relasi pertukaran) dan yang konkret (pengalaman hidup individu, tenaga kerja, dsb.) (Garnham, 1990:22).
Ada beberapa elemen kunci yang kerap disebut dalam pendefinisian kapitalisme: sistem, modal (kapital), kepemilikan individu, proses produksi, kompetisi, pasar bebas, investasi, dan profit. Kata-kata kunci ini menjadi faktor determinan dalam implikasi-implikasi praktis operasi kapitalisme dan itu akan terlihat dalam sejarah panjang perkembangan kapitalisme.
Pada umumnya para sejarawan ekonomi sepakat bahwa kapitalisme sebagai moda pengorganisasian kehidupan sosial dan ekonomi tidak hanya dimulai di satu tempat di dunia, dalam hal ini Eropa Barat Laut, melainkan sejak tahap sangat awal, ketika masih dalam proses pembentukan pada abad ke-16, yang melibatkan ekspansi ke luar yang secara bertahap melintasi wilayah-wilayah yang kian luas di dunia dalam satu jaringan pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu berkembang menjadi pasar dunia bagi barang-barang dan jasa, atau bagi pembagian kerja internasional (division of labour). Pada akhir abad ke-19, proyek satu ekonomi dunia yang kapitalistik telah terbangun dalam arti bahwa lingkup hubungan-hubungan mencakup semua wilayah geografis dunia (Hoogvelt, 1997: 14).
Abad ke-19 secara khusus mencuat sebagai waktu utama perkembangan pembagian kerja internasional. Diperkirakan bahwa dalam tiap dekade pada abad ke-19, perdagangan dunia tumbuh 11 kali lebih cepat dari produksi dunia, dan pada 1913, saat Perang Dunia I, 33 persen produksi dunia diperdagangkan di luar batas nasional negara-negara (Horvat, 1968:611 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Ini sejalan dengan yang diungkapkan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory (1996). Ritzer menyatakan bahwa Revolusi Industri yang terjadi hampir di seluruh masyarakat Barat, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20–bersama berbagai perkembangan yang terkulminasi menjadi transformasi dunia Barat dari masyarakat agriluktur menjadi satu sistem masyarakat Industri–memunculkan satu sistem masyarakat di mana muncul birokrasi ekonomi yang besar untuk melayani banyak kebutuhan industri dan sistem ekonomi kapitalis yang baru muncul. Sasaran ideal dari sistem kapitalisme ini adalah pasar bebas, di mana berbagai produk industri dapat ditransaksikan (Ritzer, 1996: 6-7). Bagian dari dunia yang kini disebut sebagai Dunia Ketiga, yakni Amerika Selatan, Afrika, Asia–terkecuali Jepang–, berpartisipasi secara penuh dalam pasar internasional. Pada 1913, Dunia Ketiga menangkap 50 persen pasar dunia (bandingkan dengan 22 persen saat ini) (Mun, 1928:5 dalam Hoogvelt, 1997:14).
Praktik ekonomi kapitalistik terinstitusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk awal kapitalisme perdagangan (merchant capitalism) berkembang pada Abad Pertengahan. Menurunnya feodalisme pada saat itu mengikis kekangan politis dan religius tradisional dalam pertukaran-pertukar an kapitalis. Hal-hal yang menyulitkan terjadinya akumulasi kapital–seperti tradisi dan kontrol, aturan-aturan aristokrasi, yang mengambil alih kapital melalui denda secara sewenang-wenang, dan pajak, pada abad ke-18–berhasil diatasi dan kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang dominan di United Kingdom dan pada abad ke-19 kapitalisme menjadi sistem ekonomi dominan di Eropa. Setelah menguasai Eropa, kapitalisme secara bertahap menyebar dari Eropa, khususnya dari Britania, melintasi batas-batas politik dan budaya. Pada abad ke-19 dan 20, kapitalisme menyediakan perangkat-perangkat utama industrialisasi ke sebagian besar penjuru dunia (http://en.wikipedia .org/wiki/ Capitalism).
Periode awal kapitalisme atau merchant capitalism atau merkantilisme ini juga disebut sebagai kapitalisme perdagangan. Periode ini dikaitkan dengan penemuan-penemuan oleh pedagang-pedagang lintasnegara– terutama dari Inggris dan Negara-Negara Dataran Rendah–, kolonisasi Eropa terhadap Amerika, dan pertumbuhan pesat perdagangan lintasnegara. Merkantilisme adalah sistem perdagangan demi profit, meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi oleh metode produksi nonkapitalis. Di bawah merkantilisme, para pedagang Eropa, dengan dukungan kontrol, subsidi, dan monopoli negara, mendapatkan keuntungan dari pembelian dan penjualan barang-barang. Francis Bacon menyatakan bahwa tujuan merkantilisme adalah “the opening and well-balancing of trade; the cherishing of manufacturers; the banishing of idleness; the repressing of waste and excess by sumptuary laws; the improvement and husbanding of the soil; the regulation of prices…” (Bacon dalam The Seventeenth Century, 1961, dalam http://en.wikipedia .org/wiki/ Capitalism).
Para perintis merkantilisme menekankan pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri sebagai kebijakan utama dari kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara tidak mempunya bahan mentahnya, maka mereka mesti mendapatkan koloni yang akan menjadi sumber bahan mentah yang dibutuhkan. Koloni juga akan berperan sebagai pasar barang jadi. Agar tidak terjadi kompetisi, koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan dengan pihak lain. Dalam situasi ini, terwujudlah pembagian kerja (division of labor) internasional.
Seperti dikatakan oleh Immanuel Wellerstein, kita menyebut pembagian kerja internasional ini sebagai ekonomi dunia kapitalis karena kriteria definitifnya adalah produksi barang dan jasa untuk dijual di pasar yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan profit (dalam Wellerstein, 1979 dalam Hoogvelt, 1997: 14). Dalam pasar kapitalistik, kekuatan permintaan dan penawaran yang tampaknya netrallah yang menentukan harga satu produk dan dengan demikian memberi sinyal kepada produsen apakah mereka mesti melakukan ekspansi produk, mengurangi output, atau mengubah teknik produksi, mengurangi struktur biaya, dan sebagainya. Dengan kata lain, melalui medium tangan tak terlihat (invisible hands) Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776)–yang telah menjadi menjadi “global invisible hand” pada akhir abad ke-19–aktivitas manusia dikoordinasikan secara rapi melintasi batas-batas nasional (Hoogvelt, 1997: 15).
Dari uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul dalam pembahasan kritis soal kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Beberapa karakter tersebut adalah penguasaan (baik secara koersif atau nonkoersif), eksploitasi (baik terhadap sumber daya alam dan manusia atau pada pemikiran), keuntungan atau profit (bagi negara-negara pelaku, yang selalu berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara), ekonomi (yang menjadi latar belakang pendorong), dan hubungan yang sarat dengan ketidaksetaraan (satu atau sekelompok diuntungkan dan yang lain dirugikan). Ketiga konsep tersebut dalam analisis yang fokus pada pendekatan histori maupun analisis, kerap berkaitan satu sama lain. Itu bisa terlihat dari teori periodisasi di bawah ini.
Sejumlah ilmuwan yang fokus pada sistem dunia memunculkan proposisi soal periodisasi perkembangan kapitalisme, yang di dalamnya karakteristik kapital inti dan hubungannya dengan wilayah periferal sangat beragam. Perbedaan-perbedaan itu dilihat sebagai satu hasil dialektis dari kontradiksi- kontradiksi yang ditimbulkan dalam tiap periode interaksi. Para ilmuwan Neo-Marxist, seperti Samir Amin, Andre Gunder Frank, Ernest Mandel, Albert Szymanski, dan Harry Magdoff, secara umum mengidentifikasi tahap prakompetitif merkantilis (1500-1800), tahap kapitalis kompetitif (1800-1880), tahap monopoli/imperialis (1880-1960), dan beberapa ilmuwan bahkan mengidentifikasi satu tahap monopoli imperialis/kapitali s lanjutan (yang dimulai oleh krisis pada 1968).
Dalam tiap periode, periferi menjalankan fungsi tertentu dalam melayani kebutuhan-kebutuhan esensial akumulasi di sentral. Namun, kebutuhan-kebutuhan esensial ini berubah akibat hasil gemilang pelayanan tersebut. Dan karena interaksi dialektis antara core dan periferi memunculkan tingkat perbedaan perkembangan yang kian meningkat di core dan periferi dalam tiap periode, core dan periferi terpisah kian jauh, menuju satu titik krisis dalam hubungan tersebut, yang kemudian diatasi dengan mengubah struktur formalnya dan metode akstraksi surplus dari core ke periferi (Hoogvelt, 1997: 16).
Sementara itu, Ankie Hoogvelt juga memunculkan periodisasi ekspansi kapitalisme yang berbeda. Periodisasi yang disebutnya sebagai periodisasi yang dikatakan merupakan periodisasi yang “mengabaikan variasi geografis yang luas”, Hoogvelt membagi ekspansi kapitalisme menjadi empat periode. Yang pertama adalah fase merkantilisme, transfer surplus ekonomi melalui penjarahan dan perampasan yang disamarkan menjadi perdagangan (1500-1800). Kedua, periode kolonial, transfer surplus ekonomi melalui syarat-syarat pedagangan yang tak setara yang dilakukan melalui pembagian kerja internasional yang dilakukan melalui kolonialisme (1800-1950). Yang ketiga adalah periode neo-kolonial, transfer surplus ekonomi melalui developmentalism dan technological rents (1950-70). Yang terakhir adalah pascaimperialisme, transfer surplus ekonomi dilakukan melalui peonage (upaya membuat pengutang melakukan segala sesuatu bagi terutang) utang (1970-saat ini).
Tahap pascaimperialisme, pada akhir abad ke-20, ditandai dengan pertumbuhan eksplosif perusahaan-perusaha an transnasional, yang memicu munculnya postimperialism theory. Para teoris modern business enterprise, seperti Charles A. Conant, Arthur T. Hadley, Jeremiah W. Jenks, Adolf A. Berle, Jr., Peter F. Drucker, dan Alfred D. Chandler, Jr. menyatakan bahwa dalam sejarah ekonomi Barat, selama akhir abad ke-19 dan setelahnya, korporasi-korporasi menjelma menjadi organisasi ekonomi yang paling efisien dalam lingkup transportasi, komunikasi, produksi, distribusi, dan pertukaran yang semakin luas (Becker, Sklar & Hakim, 1999: 11).
Sementara itu, masih dalam kaitannya dengan periodisasi kapitalisme, Thomas L. McPhail dalam Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends (2002) melihat periodisasi kapitalisme itu sebagai bagian dari analisis makro sistem komunikasi massa, yang antara lain dilakukan oleh Harold Innis, Marshal McLuhan, Armand Mattelart, Jacques Ellul, dan George Barnett. Pemaparan periodisasi yang dilakukan McPhail disebut sebagai pembabakan sejarah atau perkembangan historis tren “pengembangan imperium”, yang pada dasarnya menggambarkan perkembangan dominasi, yang amat mirip dalam perkembangan sejarah kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, terutama dari perspektif modernisasi (Daniel Larner, Marion Lavy, Neil Smelser, Samuel Eisenstadt, dan Gabriel Almond), dependensi (Paul Baran, Martin Landsberg, dan banyak peneliti lain), dan teori sistem dunia (Immanuel Wellerstein) .
McPhail menyatakan bahwa tren pertama dalam pengembangan imperium adalah melalui penaklukan militer, yang ia sebut sebagai kolonialisme militer. Yang kedua adalah penaklukan oleh tentara salib Kristen, yang ia sebut sebagai kolonialisme Kristen. Yang berikutnya adalah kolonialisme merkantilisme, yang ia sebut bertahan hingga pertengahan abad ke-20. Satu elemen kunci yang sangat penting dalam kolonialisme merkantilisme, menurut McPhail, adalah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (ini juga disebutkan oleh Nick Stevenson, 1999:34-35 dan McChesney, Wood, dan Foster, 1998, 51-55) karena hal itu memungkinkan terjadinya penyebaran pesan secara cepat dan lebih luas. Berakhirnya PD I dan PD II menandai berakhirnya era kolonialisme militeristik dan menempatkan negara-negara industri sebagai pemimpin jalur vital perdagangan dan praktik komersial global. Ini semua membawa dunia pada periode keempat perkembangan imperium, yakni kolonialisme elektronik. Periode ini diwarnai oleh ketergantungan less developed countries (LDC’s) pada Barat, yang terjadi karena ada ketergantungan perangkat keras komunikasi yang vital dan perangkat lunak yang cuma diproduksi di barat. Selain itu, LDC’s juga amat bergantung pada Barat dalam hal kebutuhan para insinyur, teknisi, yang protokol-protokol yang berkaitan dengan informasi, yang semuanya membentuk sekumpulan norma-norma, niai, nilai, dan ekspektasi asing, yang dalam berbagai tingkat berbeda mengubah budaya, kebiasaan, nilai-nilai dan proses sosialisasi domestik. Semua pemaran ini disebut sebagai electronic colonialism theory (ECT)[1].
Fredric Jameson dan David Harvey, dua ilmuwan Marxis, mengatakan bahwa modernitas dan pascamodernitas merepresentasikan dua fase kapitalisme yang berbeda. Jameson menyatakan bahwa pascamodernitas berhubungan dengan late capitalism atau satu fase kapitalisme multinasional, “informational”, dan “consumerist”. Sementara itu, Harvey mendeskripsikannya sebagai transisi dari Fordism ke akumulasi fleksibel. Gagasan yang sama juga muncul dalam teori-teori “disorganized capitalism”. Pascamodernitas dengan demikian berhubungan dengan satu fase kapitalisme di mana produksi massa barang-barang standar dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berkaitan dengan hal itu, telah digantikan oleh fleksibilitas: bentuk baru produksi.
Ellen Meiksin Wood dalam “Modernity, Postmodernity, or Capitalism?” dalam Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution (McChesney, Wood, dan Foster, 1998), menyatakan bahwa periodisasi melibatkan lebih dari sekadar menelusuri proses perubahan. Memproposisikan satu pergeseran sama artinya dengan menentukan mana yang esensial dalam mendefinisikan satu bentuk sosial seperti kapitalisme. Pergeseran epokal berkaitan dengan transformasi- transformasi dasar dalam beberapa elemen konstitutif dasar satu sistem. Dengan kata lain, periodisasi kapitalisme bergantung pada bagaimana kita mendifinisikan sistem ini sejak awal. Dalam hal ini kita harus memahami bagaimana konsep-konsep modernitas dan pascamodernitas menjelaskan bagaimana orang menggunakan konsep-konsep itu untuk memahami kapitalisme. Dalam kesimpulannya, Wood menyatakan bahwa modernitas telah mati, digantikan oleh kapitalisme.
Apa pun fokus dan penggunaan istilahnya, baik imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme, ada beberapa kesamaan dan warna serta jenis penaklukan dalam periodisasi- periodisasi yang digambarkan di atas. Secara umum, semua periodisasi dimulai dengan penaklukan militer yang dilanjutkan dengan perdagangan sekaligus ekspansi geografis. Pada akhirnya, periodisasi ditutup dengan hilangnya–atau minimnya–peran kekuatan koersif militer dalam penaklukan dan dominasi.
Era terakhir dalam tiap periodisasi selalu diwarnai oleh semakin dominannya unsur-unsur komunikasi dan media komunikasi dalam moda penaklukan, penguasaan, dan dominasi yang lebih halus, yang melibatkan nilai-nilai, norma-norma, dan hal-hal yang jauh dari kesan koersif. Bahkan McPhail menyatakan bahwa periode terakhir, kolonialisme elektronik sebagai satu periode di mana para kolonialis “seeks mind”, sedangkan kolonialisme masih “sought cheap labor”. Secara implisit, McPhail menyatakan ada pergeseran fokus dominasi: dari sesuatu yang bersifat kasar, jelas terlihat, dan fisik menjadi sesuatu yang halus, laten, dan psikis serta mental. Dominasi pada era ini amat sejalan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci[2].
[1] Electronic colonialism merupakan babak selanjutnya dalam pembabakan kolonialisme. Lihat Grafis 1.
[2] Lihat juga McChesney, Wood, dan Foster, 1998: 51-65 dan Stevenson, 1999: 93-109)
source alsujanto
JENIS-JENIS KERAGUAN DAN KEYAKINAN
Setiap manusia memiliki keyakinan dalam beberapa perkara dan pada sebagian persoalan mengalami keraguan dan bimbang, misalnya seseorang mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri dan pada keberadaan alam sekitarnya serta perasaan-perasaanny a, namun mengalami keraguan dan kebimbangan terhadap berbagai perkara-perkara. Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun, namun manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu dari perkara tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat keraguan dan keyakinan terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek internal manusia, dan pemikiran. Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakanginya dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya serta kualitas kejiwaan setiap manusia.
a. Jenis-jenis keraguan
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanya an yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanya an ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan- permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.
b. Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan- pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;
4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan- pengetahuan mereka;
5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.
ANALISA MASALAH
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan apa-apa yang mungkin untuk diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan dan pengkajian . Domain penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah mana saja manusia dapat menggapai pengetahuandan keyakinan. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.
Berikut ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada dan kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk:
1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenal an manusia.
Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal;
2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi- kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi- argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal;
3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak;
Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsiny a itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya.
Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek eksternal itu diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja pikiran kita telah ikut campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan tersebut dimana hal ini sebagaimana kaca mata yang berwarna telah ikut berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita saksikan. Oleh karena itu, mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang sebagaimana hakikatnya.
Keraguan bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan dasar-dasar pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi dan jawaban.
Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan empirisitas;
2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal.
3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil;
5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki;
6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka;
8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu?
10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan". Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal;
11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam;
12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi "pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri";
14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan;
15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri;
16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.[8]
Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan landansan;
2. Terdapat kontradiksi- kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam wacana filsafat;
3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan- pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indra-indra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan;
6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi;
8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan keberadaanya;
10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana "kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua" seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki;
11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsiny a bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.[9]
a. Jenis-jenis keraguan
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanya an yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanya an ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan- permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.
b. Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
3. 'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan- pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara 'alim dan ma'lum;
4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan- pengetahuan mereka;
5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.
ANALISA MASALAH
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan apa-apa yang mungkin untuk diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan dan pengkajian . Domain penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah mana saja manusia dapat menggapai pengetahuandan keyakinan. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.
Berikut ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada dan kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk:
1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenal an manusia.
Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal;
2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi- kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi- argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal;
3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak;
Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsiny a itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya.
Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek eksternal itu diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja pikiran kita telah ikut campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan tersebut dimana hal ini sebagaimana kaca mata yang berwarna telah ikut berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita saksikan. Oleh karena itu, mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang sebagaimana hakikatnya.
Keraguan bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan dasar-dasar pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi dan jawaban.
Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan empirisitas;
2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal.
3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil;
5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki;
6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka;
8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu?
10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan". Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal;
11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam;
12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi "pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri";
14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan;
15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri;
16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.[8]
Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan landansan;
2. Terdapat kontradiksi- kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam wacana filsafat;
3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan- pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indra-indra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan;
6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi;
8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan keberadaanya;
10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana "kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua" seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki;
11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsiny a bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.[9]
Langganan:
Postingan (Atom)