Senin, 01 Juni 2009

Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan (Fit And Proper Test) Bagi Calon Pemilik Dan Pengurus Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/Pbi/2003

BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi ekonomi di Indonesia memang belum sepenuhnya pulih. Setelah krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis perbankan terjadi di pertengahan tahun 1997, bangsa ini sedikit demi sedikit mencoba untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan guna rnenghadapi era globalisasi.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan pada masa krisis berawal dari keputusan pemerintah untuk menutup 16 bank yang dianggap kurang sehat, sesuai dengan rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF). Peristiwa inilah yang menjadi sumber menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Kondisi tingkat kepercayaan kepada bank yang semakin rendah sebagai akibat penutupan 16 bank, justru semakin buruk karena keputusan pemerintah yang hanya memberi jaminan terhadap simpanan yang dibatasi hanya sampai Rp.20.000.000.- (dua puluh juta rupiah) per rekening. Hal tersebut otomatis semakin memicu ketidakpercayaan yang lebih tinggi terhadap perbankan nasional dan menimbulkan anggapan bahwa Bank tidak lagi dapat dijadikan tempat yang aman untuk menyimpan dana nasabah. Beberapa pengamat asing berpendapat bahwa langkah kebijakan penutupan 16 bank yang diambil tanpa disertai kriteria penutupan yang jelas dan transparan, serta tidak tersedia informasi mengenai kesehatan bank-bank yang belum ditutup ini, ternyata hanya menimbulkan kebingungan. Padahal, selama ini Bank dipercaya sebagai salah satu media lalu lintas keuangan.
Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk memulihkan perekonomian nasional. Pemulihan sektor perbankan sebagai salah satu aset terbesar industri keuangan pun menjadi prioritas utama program pemerintah dalam mereformasi perbankan agar masyarakat kembali tertarik untuk menggunakan jasa perbankan. Apabila kepercayaan masyarakat membaik maka membawa dampak besar bagi perekonomian, karena secara otomatis Bank dapat kembali menjalankan fungsi utamanya sebagai penghimpun dana penyalur dana masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo.Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menghasilkan struktur manajemen yang baik adalah melalui proses seleksi manajemen, terhadap pemilik dan pengurus (direksi dan komisaris) pada semua bank yang dilakukan melalui Fit and Proper Test. Hal tersebut dianggap perlu oleh berbagai pihak karena banyak kalangan menilai bahwa kemampuan manusia menjadi faktor utama dalam menjalankan prinsip kehati-hatian, yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan suatu Bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang memiliki fungsi pokok menjaga kestabilan moneter, keamanan sistem pembayaran nasional, dan pengaturan serta pengawasan Bank merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan kebijakan tentang penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test). Dikeluarkannya peraturan kebijakan oleh Bank Indonesia mengenai Fit and Proper Test ini juga didasarkan pada hasil pengamatan bahwa sebagian besar penutupan bank yang terjadi pada masa krisis karena adanya kesalahan dalam pengelolaan, baik yang bersifat kelemahan maupun penyimpangan biasa. Hal ini sebagai akibat tidak diterapkannya suatu tata kelola perusahaan yang baik atau dengan istilah "Good Corporate Governance", selanjutnya disebut GCG, yang mengakibatkan banyak terjadi praktik-praktik menyimpang pada bank dalam menjalankan usahanya karena tidak ditangani oleh pengelola yang mampu dan patut dalam praktrek usaha.
Dengan mengacu pada uraian-uraian diatas, maka peneliti mengajukan skripsi dengan judul : "Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan (Fit And Proper Test) Bagi Calon Pemilik Dan Pengurus Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/Pbi/2003 Tentang Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan (Fit And Proper Test)".

B. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, obyek permasalahan yang akan dibahas adalah:
Bagaimanakah penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pemilik dan pengurus bank berdasarkan PBI Nomor 5125/PBI12003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)?


BAB II
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT
AND PROPER TEST) BAGI CALON PEMILIK DAN PENGURUS BANK

A. Latar Belakang Lahirnya Fit and Proper Test
Bank sebagai lembaga intermediasi memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Peran tersebut dapat terlihat dari pengertian, fungsi dan tujuan perbankan yang tertuang dalam Undang-Undang Perbankan, yang menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk­bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 butir ke 2). Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana penyalur dana masyarakat (Pasal 3), dan Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan Nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak (Pasal 4). Agar fungsi dan tujuan perbankan dapat terlaksana, maka diperlukan suatu tata kelola yang baik dalam menjalankan roda perbankan.
Perkembangan dunia perekonomian saat ini memang menuntut adanya kemampuan yang tinggi dari para pelaku ekonomi untuk dapat bersaing secara global. Kemampuan bersaing yang tinggi ini tentu harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang baik. Bank sebagai salah satu sektor penting dalam perekonomian tidak luput dari tuntutan tersebut, dimana setiap bank harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan bank yang baik dan professional. Tentu saja, diperlukan sumber daya manusia yang baik pula untuk mendukung kinerjanya sehingga dapat tercipta manajemen yang baik dan bertanggung jawab serta menimbulkan iklim perbankan yang sehat dan berkualitas.
Dasar manajemen yang baik adalah adanya Corporate Governance. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefisikan Corporate Governance sebagai berikut:
"...seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)."

Menurut Iman Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal dalam bukunya "Membangun Good Corporate Governance", pengertian Corporate Governance adalah:
"hubungan antara stakeholders yang digunakan untuk menentukan arah dan pengendalian kinerja suatu perusahaan. Bagaimana perusahaan memonitor dan mengendalikan keputusan dan tindakan manajer puncak, yang disebut governance mechanism, serta mempengaruhi implementasi strategi."

Intinya, Corporate Governance adalah mengenai suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi demi tercapainya tujuan organisasi. Dengan diterapkannya "Good Corporate" pada sektor perbankan, diharapkan kondisi perbankan dapat terpelihara dengan baik sehingga secara tidak langsung melindungi kepentingan nasabah juga.
Fit and Proper Test merupakan salah satu proses untuk menjaga kesehatan perbankan yang dilandasi oleh adanya penerapan prinsip "Good Corporate Governance". Para pakar menganggap bahwa Fit and Proper Test perlu dilakukan agar tidak terjadi lagi "salah urus" dalam sistem perbankan. Artinya setiap bank harus benar-benar dimiliki dan dikelola oleh orang-orang yang memang mengerti serta memiliki integritas tinggi dalam menjalankan usahanya tersebut agar dapat berjalan dengan baik.
Perwujudan dari adanya upaya untuk menjadi "Good Corporate Governance" yaitu dengan dikeluarkannya berbagai macam ketentuan yang salah satunya adalah mengenai Fit and Proper Test tadi oleh Bank Indonesia, yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) Nomor 2/1/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test), dan yang terbaru adalah PBI Nomor 5/251PBI/2003 masih memuat materi yang sama. Dikeluarkannya peraturan tersebut diharapkan dapat mengakomodir keinginan untuk menseleksi orang-orang yang memang pantas menjalankan sistem perbankan.
Pengertian Fit and Proper Test dalam Pasal (1) butir 2 PBS Nomor 2/PBI/2000 adalah:
"...hasil proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia terhadap integritas pemegang saham pengendali, serta integritas dan kompetensi dari pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan operasional bank".

Definisi lain diberikan oleh Hasanuddin Rahman Daeng Naja tentang Fit and Proper Test, yaitu:
"...penilaian kemampuan dan kepatutan dari hasil proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu secara insidentil apabila dianggap perlu oleh pemilik perusahaan (shareholder), direksi dan komisaris atau stakeholder terhadap direksi dan komisaris, pejabat yang mempunyai fungsi pengelola dan pengambil keputusan dalam kegiatan operasional perusahaan dan atau terhadap pemilik perusahaan (shareholder) ".

Secara singkat, Fit and Proper Test dapat diartikan sebagai penilaian kemampuan dan kepatutan yaitu hasil dari proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia, terhadap integritas pemegang saham pengendali serta integritas dan kompetensi dewan Komisaris, Direksi, dan pejabat eksekutuif Bank dalam mengelola kegiatan operasional Bank.
Definisi Fit and Proper Test diatas, lebih lanjut disimpulkan bahwa penilaian dalam Fit and Proper Test dilakukan terhadap dua hal pokok, yaitu kemampuan atau kompetensi dan kepatutan atau integritas, dimana kedua hal ini menjadi faktor penentu keberhasilan perusahaan mengoptimalkan kinerjanya. Dan secara sederhana, pelaksanaan Fit and Proper Test ini juga dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dan kepatutan (calon) manajemen perusahaan bersangkutan, secara detil dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pihak-pihak yang wajib mengikuti Fit and Proper Test disebutkan dalam Pasal (3) PBI Nomor 5/25/PBI/2003, yaitu:
1. Calon pemegang saham pengendali dan calon pengurus Bank;
2. Pemegang saham pengendali dan Pengurus Bank; dan
3. Pejabat Eksekutif Bank dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan:
a. Dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank; dan atau
b. Atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan operasional Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing.
Pengurus yang dimaksud adalah komisaris dan direksi perusahaan atau Bank, atau yang setara dengan itu, termasuk antara lain tim pengawas dan tim pengelola Bank dalam penyehatan (Pasal (1) butir ke-5 PBI Nomor 5/25/PBI/2003). Bagi Bank yang berbentuk Perseroan Terbatas, maka pengertian komisaris dan direksi mengacu pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas.


B. Ruang Lingkup Fit and Proper Test
Ruang lingkup dari Fit and Proper Test meliputi faktor integritas dan faktor kompetensi seorang pemegang saham pengendali, pengurus, dan pejabat eksekutif. Penilaian faktor integritas dilakukan untuk memastikan bahwa pemegang saham pengendali, pengurus dan pejabat eksekutif tidak melakukan tindakan-tindakan yang meliputi :
a. Rekayasa dan praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan perbankan.
b. Perbuatan yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau pemerintah.
c. Perbuatan yang dapat dikategorikan memberikan keuntungan kepada pribadi pemilik, pengurus, pegawai, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan dan atau mengurangi keuntungan Bank.
d. Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-­hatian di bidang perbankan.
e. Perbuatan dari pengurus dan pejabat eksekutif yang dapat dikategorikan tidak independen.
Penilaian faktor kompetensi dilakukan untuk memastikan bahwa pengurus dan pejabat eksekutif memiliki:
a. Pengetahuan di bidang perbankan yang memadai;
b. Pengalaman kerja dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan seperti perusahaan asuransi, lembaga pembiayaan, modal ventura dan perusahaan sekuritas;
c. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis seperti kemampuan untuk menentukan dan melaksanakan misi, tujuan, sasaran dan strategi pengembangan Bank yang sehat.

C. Tujuan Fit And Poper Test
Fit and Proper Test juga mengandung arti penilaian kerja resmi yang harus dicatat, karena dilakukan secara rutin, konsisten dan berkesinambungan. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kinerja manajemen dan perusahaan (Bank) yang bersangkutan setiap waktu, karena adanya tuntutan dan motivasi dilakukannya Fit and Proper Test untuk para pejabat dalam perusahaan (Bank) tersebut. Apabila dilihat secara sederhana, maka tujuan dan pelaksanaan Fit and Proper Test adalah:
1. Untuk mengetahui kemampuan dan kepatutan (calon) manajemen perusahaan bersangkutan, secara detil dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Untuk memantau pencapaian goals dan progress perusahaan secara keseluruhan, baik aspek legal maupun aspek finansial.
3. Untuk memberi motivasi kepada para (calon) manajemen untuk melaksanakan tugas, kewajiban serta wewenangnya dengan sebaik­baiknya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta peraturan perusahaan bersangkutan
4. Untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan secara berkesinambungan dalam dunia bisnis yang telah memasuki globalisasi, yang pada akhirnya akan bermuara pada kinerja yang semakin baik dari waktu ke waktu secara berkesinambungan.

D. Prosedur Pelaksanaan Fit and Proper Test bagi Calon Pemilik dan Pengurus Bank
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dan calon pengurus Bank dilakukan melalui penelitian administratif (meliputi penelitian dokumen persyaratan administratif, track record Berta penelitian reputasi keuangan) dan wawancara (Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) PBI No.5/25/PBI/2003) untuk menilai apakah yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan atau tidak. Persyaratan yang dimaksud bagi calon Pemegang Saham Pengendali yaitu memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan (Pasal 4 PBI No.5/25/PBI/2003). Persyaratan integritas antara lain memiliki akhlak dan moral yang baik, memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat, dan tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus (Pasal 5 PBI No.5/25/PBI/2003).
Syarat kelayakan keuangan meliputi persyaratan kemampuan keuangan, tidak termasuk dalam daftar kredit macet, tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum dicalonkan, bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan tidak memiliki hutang yang jatuh tempo dan bermasalah.
Persyaratan yang dinilai pada calon pengurus Bank antara lain(Pasal 15 PBI No.5/25/PBI/2003):
1. Integritas;
2. Kompetensi;
3. reputasi keuangan.
Persyaratan integritas meliputi:
1. Akhlak dan moral yang baik;
2. Memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang­undangan yang berlaku, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat,
3. Tidak termasuk dalam Daftar Tidak Lulus.
Persyaratan Kompetensi bagi calon Komisaris antara lain memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya, dan atau pengalaman di bidang perbankan.

Sedangkan bagi calon Direksi:
1. Memiliki pengetahuan di bidang perbankan;
2. Pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau bidang keuangan;
3. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat.
Mayoritas anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional Bank sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada Bank. Persyaratan reputasi keuangan juga harus dipenuhi antara lain, tidak termasuk dalam daftar kredit macet, dan tidak pernah dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) Tahun sebelum dicalonkan.
Pada dasarnya, Fit and Proper Test dapat dilakukan dalam dua kesempatan yang berbeda, yaitu:
1. Recruitment Fit and Proper Test
Kegiatan Fit and Proper Test jenis ini adalah yang paling ideal dilakukan pada saat perekrutan untuk posisi Komisaris dan atau Direksi. Proses penilaian dimulai dari daftar riwayat hidup yang bersangkutan yang memberikan informasi secara lengkap tentang calon pejabat yang akan direkrut dalam tes ini. Informasi minimal yang dapat digali adalah riwayat pendidikan dan riwayat pekerjan termasuk perjalanan dan pencapaian karirnya sebelum berhadapan dengan penilaian. Apabila semua keterangan yang termuat dalam riwayat hidup telah terbukti valid, maka penilaian dapat dilanjutkan ke tahap wawancara.
Pemeriksaan atau tes ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu yang berhubungan dengan kemampuan atau kompetensi dan yang berhubungan dengan kepatutan atau integritas, yang dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan faktual.
a. Tes Kemampuan atau kompetensi, dilakukan terhadap 3 (tiga) hal, yaitu:
1) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan tersebut dapat digali melalui pertanyaan­pertanyaan yang berhubungan dengan visi dan misi, pengetahuan manajemen, pengetahuan umum dan pengetahuan yang relevan dengan bidang yang digeluti.
2) Keterampilan (Skill)
Keterampilan disini adalah keterampilan dalam mengatur, keterampilan teknis, keterampilan manusiawi, keterampilan konseptual, dan adanya motivasi untuk mengelola. Keterampilan tersebut dapat digali melalui pertanyaan­pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan manajemen yang standar, spesifikasi aktivitas atau operasional bisnis balk secara umum maupun khusus.
3) Masa Kerja Lalu (experience)
Experience yang dimaksud adalah tentang kinerja yang telah dicapai atau dengan kata lain keberhasilan dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan.
Penilaian kompetensi juga mencakup penilaian terhadap pengetahuan, pemahaman dan kemampuan tentang kegiatan operasional Bank, Undang-Undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya, perekonomian secara makro, pengetahuan mengenai kebudayaan, bahasa dan perekonomian Indonesia (bagi calon pengurus yang Warga Negara Asing), dan pengetahuan mengenai kegiatan usaha Bank berdasarkan prinsip syari'ah (bagi calon pengurus Bank Syari'ah).43
Ruang lingkup penilaian kemampuan atau kompetensi adalah pengetahuan di bidang bisnis perusahaan (Bank), pengalaman dan keahlian, dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan perusahaan (Bank) yang akan dipimpinnya.
b. Tes Integritas atau Kepatuhan, dilakukan atas 2 (dua) hal, yaitu:
1) Sikap atau Perilaku (Attitude)
2) Masa Kerja Lalu (Experience)
Penilaian sikap atau perilaku ini berhubungan dengan masa kerja lalu seorang pejabat yang akan dinilai. Artinya, dilihat apakah dalam hal ini seseorang yang akan dinilai tersebut memiliki kejujuran, kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk menjaga dan mengelola asset-aset milik perusahaan (Bank). Ruang lingkup penilaian integritas atau kepatuhan meliputi rekayasa dan praktik-praktik operasional yang menyimpang dari ketentuan eksternal dan internal, perbuatan yang dapat dikategorikan tidak memenuhi segala macam perjanjian dengan pihak ketiga, dan perbuatan yang dikategorikan memberikan keuntungan kepada pemilik, pengurus, pegawai dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan perusahaan (Bank). Selain itu, penialian terhadap perilaku, akhlak dan moral juga meliputi:
(a) Kejujuran, antara lain:
i. Sikap dalam menghadapi penyimpangan/ pelanggaran atas suatu ketentuan;
ii. Sikap dalam memenuhi komitmen yang telah disepakati.
(b) Kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, antara lain:
i Sikap dalam menghadapi kelemahan yang terdapat dalam suatu ketentuan perbankan;
ii Sikap dalam mengahadapi adanya ketentuan perbankan yang tidak konsisten.
(c) Independensi, meliputi:
i. Independensi terhadap pemilik, pengurus bank dan pihak lainnya;
ii. Sikap dalam menghadapi campur tangan pemilik Bank.
(d) Respon atas informasi negatif tentang dirinya, untuk menilai:
i. Kebenaran;
ii. Kejujuran.
2. Regular Fit and Proper Test
Kegiatan penilaian Fit and Proper Test ini dilakukan setiap waktu apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia (Pasal 27 PBI No.5/25/PBI/2003). Artinya, apabila dalam pemeriksaan rutin ditemukan adanya indikasi penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian, maka dapat dilakukan Fit and Proper Test sebagai bentuk tindak lanjut pemeriksaan. Mekanisme regular Fit and Proper Test dilakukan sesuai dengan mekanisme auditing, yaitu:
a. Pengumpulan data dan fakta;
b. Proses Penilaian;
c. Membuat laporan;
d. Fit and Proper Test.
Pelaksanaan Fit and Proper Test pada jenis ini dilakukan atas dasar adanya laporan atau indikasi penyimpangan dari hasil audit tersebut.

E. Kriteria Hasil Pemeriksaan Fit and Proper Test
Kriteria hasil penilaian Fit and Proper berbeda antara calon pemilik dan pengurus Bank dengan pemilik dan pengurus Bank yang telah menduduki jabatannya. Hasil penilaian Fit and Proper terhadap calon pemilik dan pengurus Bank dibagi menjadi 2 (dua) predikat, yaitu Lulus dan Tidak Lulus (Pasal 21 ayat (1) PBI No.5/25/PBI/2003). Calon pemilik dan pengurus yang memperoleh predikat Lulus dianggap telah memenuhi persyaratan dan dapat menduduki jabatannya sebagai Komisaris atau Direksi, sedangkan bagi calon pemilik atau pengurus yang memperoleh predikat tidak lulus dianggap tidak memenuhi persyaratan sehingga dianggap belum mampu untuk menjadi Komisaris atau Direksi.
Idealnya, Fit and Proper Test dilakukan terhadap calon pemilik dan atau pengurus Bank, namun tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan terhadap pemilik dan atau pengurus Bank yang telah menduduki jabatannya. Kriteria hasil penilaian Fit and Proper terhadap pemilik dan atau pengurus Bank sedikit berbeda dengan kriteria penilaian terhadap calon pemilik dan atau pengurus Bank. Perbedaannya karena pada hasil penilaian ini mengenal adanya kriteria Lulus Bersyarat. Pasal 31 ayat (1) PBI No.5/25/PBI/2003 menyebutkan bahwa berdasarkan tata cara penilaian yang telah ditentukan, maka hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pemilik dan atau pengurus Bank diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) predikat, yaitu Lulus, Lulus Bersyarat, dan Tidak Lulus. Predikat lulus diberikan apabila yang bersangkutan tidak ditemukan melakukan perbuatan dan/atau tidak mempunyai kekurangan terhadap penilaian atas faktor penilaian integritas dan faktor penilaian kompetensi.
Berbeda halnya dengan predikat Lulus Bersyarat, diberikan apabila yang bersangkutan terbukti bersalah, namun kesalahan tersebut masih dapat diperbaiki dan tidak merugikan perusahaan secara langsung, contohnya pejabat yang memiliki kredit macet. Atas predikat tersebut, maka yang bersangkutan menurut Pasal 34 ayat (1) PBI No.5/25/PBI12003 diwajibkan untuk:
1. Membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak lagi melakukan perbuatan serupa;
2. Membuat pernyataan tertulis yang berisi pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan penyimpangan lainnya;
3. Melakukan perbaikan faktor-faktor kompetensi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun;
4. Menyelesaikan kredit macet yang dimiliki pada Bank dan/atau BPR dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun;
5. Menyampaikan dan melaksanakan langkah-langkah berupa action plan dalam rangka memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank.
Hasil penilaian dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menurunkan hasil penilaian Meskipun berdasarkan hasil penilaian pihak yang dinilai dinyatakan lulus, namun apabila yang bersangkutan memiliki kredit macet maka status hasil penilaian diturunkan menjadi Lulus Bersyarat. Penilaian dapat ditingkatkan menjadi lulus apabila yang bersangkutan telah menyelesaikan kredit macet tersebut dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pemberitahuan hasil penilaian Fit and Proper Test.
Predikat tidak lulus diberikan terhadap pemilik dan atau pengurus Bank yang terbukti melakukan perbuatan dan atau mempunyai kekurangan-kekurangan yang mendasar terhadap satu atau beberapa faktor penilaian integritas dan faktor kompetensi. Pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 36 PBI No.5/25/PBI/2003, dilarang menjadi pemegang saham pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh perseratus) pada Bank atau BPR; dan atau menjadi pengurus dan atau pejabat eksekutif pada Bank atau BPR.
Hasil Penilaian dalam Fit and Proper Test masih dibedakan antara penanggung jawab, pemrakarsa, pemutus dan pelaksana, serta yang mengetahuinya. Artinya, dalam setiap penyimpangan yang berakibat pada kerugian perusahaan, maka akan dicari penanggungjawab, pemrakarsa, pemutus dan pelaksananya, karena tidak menutup kemungkinan adanya pejabat yang menutup-nutupi penyimpangan tersebut. Hal inilah yang menentukan berat atau ringannya kesalahan dan akan sangat berpengaruh pada tingkat penilaian. Kriteria pelaku yang terlibat antara lain pelaku, pelaksana, dan pihak yang hanya mengetahui. Pelaku yaitu orang yang secara langsung melakukan atau turut melakukan perbuatan rekayasa dan atau praktek-­praktek perbankan yang menyimpang dari Undang-Undang dan ketentuan perbankan; perbuatan yang dapat dikategorikan tidak memenuhi komitmen yang disepakati dengan Bank Indonesia dan atau pemerintah.
Pengertian pelaku disini adalah termasuk pemutus, pemrakarsa atau penanggungjawab. Pelaksana adalah orang yang telah melakukan suatu perbuatan berdasarkan instruksi, tekanan, tipu daya, atau pemberian kompensasi dari pihak lain, seperti pihak yang menandatangani suatu dokumen, pihak yang melakukan atau turut serta melakukan eksekusi/tindakan, dan pihak yang turut menyetujui suatu keputusan. Sedangkan pihak yang hanya mengetahui adalah orang yang turut serta mengetahui atau terlibat dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain karena jabatannya, misalnya sebagai pihak yang mengetahui melalui pengesahannya dalam suatu dokumen.
Penetapan hasil akhir penilaian Fit and Proper dilakukan dengan cara menjumlahkan hasil penilaian faktor integritas dan faktor kompetensi. Predikat lulus diberikan dengan hasil penilaian akhir sebesar 0 (nol). Predikat lulus bersyarat, dengan hasil penilaian akhir sebesar 1 (satu) sampai dengan 19 (sembilan betas), dan predikat tidak lulus dengan penilaian akhir sebsar 20 (dua puluh) atau Iebih.

F. Sifat Keputusan Fit and Proper Test bagi Calon Pemilik dan Pengurus Bank
Para pihak yang dinilai dalam proses Fit and Proper Test diberi kesempatan dua kali untuk mengajukan keberatan terhadap hasil temuan ataupun hasil penilaian, yaitu pada saat pertemuan yang diadakan pada akhir pemeriksaan oleh tim pemeriksa, dan pada saat penyampaian hasil penilaian Fit and Proper Test oleh Deputi Gubernur Perbankan. Waktu yang diberikan untuk masing-masing kesempatan yaitu 15 (lima belas} hari sejak tanggal pertemuan, yang selanjutnya akan menghasilkan keputusan final.
Sifat keputusan Fit and Proper Test setelah pemberitahuan kepada pihak­-pihak yang dinilai bersifat final. Dalam hal keputusan tersebut tidak memuaskan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan final tersebut merupakan keputusan yang diambil secara cermat dan berhati-hati dan dilandasi latar belakang yang kuat berupa bukti pendukung baik secara ketentuan maupun aspek yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan final penilaian Fit and Proper Test dilaksanakan oleh Rapat Dewan Gubernur berdasarkan presentasi yang dilakukan oleh Pengawas Bank (DPwB)/Kantor Bank Indonesia yang disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi anggota Komite Evaluasi Perbankan.

G. Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003
Kriteria hasil penilaian dalam Fit and Proper Test tentunya menimbulkan konsekuensi bagi para pihak yang dinilai. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 PBI Nomor 5/25/PBI/2003, pihak yang memperoleh predikat lulus dinyatakan memenuhi persyaratan untuk tetap menjadi Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, atau Pejabat Eksekutif, kecuali apabila kemudian yang bersangkutan diketahui Memiliki kredit macet, maka predikat lulus akan turun menjadi lulus bersyarat. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa pihak-pihak yang dinyatakan lulus bersyarat diwajibkan untuk membuat pernyataan tertulis dan bermaterai yang berisi pernyataan untuk:
1. Tidak lagi melakukan perbuatan yang serupa yang dilakukan sebelumnya; dan/atau
2. Tidak melakukan perbuatan penyimpangan lainnya, yaitu:
a. Rekayasa dan praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan;
b. Perbuatan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pihak­pihak tersebut;
c. Kegagalan memenuhi komitmen yang telah disepakati;
d. Pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian;
e. Tidak independent dalam pelaksanaan tugas;
3. Melakukan perbaikan atau menambah pengetahuan yang diperlukan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan.
Penyimpangan peraturan yang dilakukan sepanjang memenuhi kriteria lulus bersyarat dan telah membuat pernyataan tertulis tersebut diatas serta telah menyelesaikan kredit macet yang dimiliki maka hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu tindakan tercela di bidang perbankan yang merupakan persyaratan untuk menjadi pengurus di Bank lain. Tetapi, bagi para pihak yang dinyatakan lulus bersyarat namun tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta (antara lain kewajiban menyelesaikan kredit macet dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; kewajiban meningkatkan kompetensi dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun, dan kewajiban untuk tidak melakukan kegiatan menyimpang yang serupa) diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Sedangkan bagi pemegang saham pengendali wajib melepaskan seluruh atau sebagian sahamnya sehingga menjadi maksimal 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu satu tahun.
Pihak yang tidak lulus dalam Fit and Proper Test menurut ketentuan Pasal 36 PBI No.5/25/PBI/2003, dilarang untuk menjadi pemegang satuan pengendali dan memiliki saham lebih dari 10% (sepuluh persen), dan/atau dilarang menjadi pengurus dan atau pejabat eksekutif pada Bank maupun BPR, sehingga diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Para pihak yang tidak lulus kemudian diwajibkan untuk membuat surat pernyataan tertulis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberitahuan oleh Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak akan ikut serta dalam pengendalian Bank atau BPR, baik langsung maupun tidak langsung, dan bagi Pemegang Saham yang memiliki saham lebih dari jumlah tersebut diatas, wajib untuk menurunkan kepemilikannya menjadi maksimal 10% (sepuluh persen) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun (Pasal 37 No.5/25/PBI/2003) dengan tetap memperhatikan pengecualian dan atau perpanjangan waktu apabila dianggap dapat mempengaruhi tingkat kesehatan Bank.
Para pihak yang tidak bersedia mengundurkan diri harus diberhentikan melalui Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang wajib diselenggarakan selambat-Iambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah adanya pemberitahuan dari Bank Indonesia. Dalam hal pengurus yang dinyatakan tidak lulus atau dinyatakan lulus bersyarat namun tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta, tidak bersedia mengundurkan diri dan tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, maka Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan Bank yang diwakili oleh Pengurus Bank tersebut, dan segala tindakan yang diambil oleh yang bersangkutan merupakan tanggung jawab pribadi.
Jangka waktu pengenaan larangan terhadap pihak yang tidak lulus akan berbeda lamanya tergantung pada kesalahan yang dibuat. Misalnya, berdasarkan ketentuan Pasal 43 PBI No.5/25/PBI/2003, Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif dapat dinyatakan tidak lulus dengan jangka waktu larangan selama 20 (dua puluh) tahun apabila:
1. Pemegang Saham Pengendali yang memperoleh predikat tidak lulus tidak bersedia menyampaikan surat pernyataan kepada Bank Indonesia;
2. Pemegang Saham Pengendali melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat;
3. Pemegang Saham Pengendali, Pengurus dan Pejabat Eksekutif melakukan pelanggaran terhadap surat pernyataan tertulis yang dibuat dalam rangka penilaian kembali;
4. Pengurus dan pejabat eksekutif dinyatakan memiliki predikat tidak lulus, namun tidak bersedia mengundurkan
Sanksi tidak hanya diberikan kepada pihak-pihak yang dinilai dalam Fit and Proper Test, tetapi juga diberikan terhadap para pihak yang melanggar ketentuan dalam PBI No.5/25/PBI/2003. Sanksi tersebut akan diberikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan dan mengacu pada ketentuan PBI di atas. Contohnya, dalam Pasal 57 ayat (1) PBI No.5/25/PBI/2003 menyebutkan bahwa bagi Bank yang melanggar ketentuan, antara lain Pasal 20 ayat (2) PBI No.5/25/PBI/2003 yang isinya memuat tentang kewajiban Bank untuk memberhentikan (melalui RUPS atau Rapat Anggota) pihak yang tidak disetujui oleh Bank Indonesia meskipun telah mendapat persetujuan dan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Terhadap pelanggaran ketentuan tersebut, maka Bank dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-­Undang Perbankan, berupa teguran tertulis dan pemberhentian Pengurus Bank yang selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
Contoh lain misalnya, dalam Pasal 57 ayat (5) PBI No.5/25/PBI/2003 disebutkan bahwa bagi Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif yang dengan sengaja tidak menaati ketentuan (salah satunya) Pasal 20 ayat (3) yaitu tentang larangan melakukan tugas sebagai Direksi atau Komisaris bagi calon pengurus Bank yang belum mendapat persetujuan Bank Indonesia, dalam kegiatan operasional Bank dan atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Bank, walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran Pasal ini yaitu berdasarkan Pasal 49 ayat (2) huruf Undang-Undang Perbankan, berupa ancaman pidana sekurang-­kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), karena dianggap tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ketentuan Fit and Proper Test merupakan ketentuan yang pelaksanaannya diwajibkan oleh Bank Indonesia, sehingga pelanggaran terhadap hasil penilaian pun menimbulkan sanksi bagi pihak yang bersangkutan. Namun dalam prakteknya masih banyak orang-orang penting yang telah menduduki jabatan ternyata belum menjalankan Fit and Proper Test, atau orang-orang yang ternyata tidak lulus dalam penilaian ternyata masih dapat menduduki jabatannya dengan alasan bahwa keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) sebagai organ tertinggi dalam Perseroan Terbatas, tidak menghendaki adanya pergantian. Padahal, pelaksanaan Fit and Proper Test juga merupakan salah satu usaha bank dalam menjalankan prinsip kehati­hatian. Lemahnya peraturan menjadi salah satu alasan mengapa penilaian tersebut sering kali diabaikan.
Hendaknya para pihak menyadari bahwa sehubungan dengan pentingnya ketersediaan sumber daya manusia yang baik, maka peraturan pelaksanaan Fit and Proper Test sebagai salah satu upaya untuk menggali sumber daya manusia perlu dilandasi dengan suatu kekuatan hukum yaitu melatui perundang-undangan. Apabila hal ini telah disadari, diharapkan dapat menjembatani kelemahan yang ada dalam perundang-undangan di Indonesia sehingga pada akhirnya tujuan dan sasaran Pembangunan Nasional Indonesia dengan salah satu arah kebijakan yaitu mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dapat menguntungkan semua pihak.

Adopsi

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-hak Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda) atau adopt (adoption) bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut tabanni yang menurut Muhammad Yunus diartikan sebagai mengambil anak angkat.1
Pengertian secara terminologi, memberikan definisi pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.2 Disamping itu pengertian anak angkat adalah seorang yang bukan keturunan suami istri, namun ia diambil, dipelihara, dan diperlakukan seperti halnya anak keturunan sendiri.3
Pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain:
1.Adanya beberapa kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah, yang menyatakan bahwa dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapat keturunan sendiri.
2.Dalam suatu perkawinan dimana pasangan suami istri itu tidak mendapat keturunan sehingga mereka khawatir akan punahnya garis keturunan mereka, oleh karena itu mereka mengangkat anak.
3.Alasan ekonomis, dimana keluarga sianak sudah tidak sanggup lagi memelihara dan mendidiknya, karena itu diberi kesempatan pada keluarga lain untuk mendidiknya dan memelihara anak itu dengan jalan mengadopsinya.
4.Karena alasan peperangan, dimana banyak anak-anak yang terlantar karena kehilangan orangtuanya.4
Tujuan Adopsi adalah:5
a.Tujuan Umum
Tujuan umum adopsi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak dalam arti luas yaitu berusaha untuk membantu anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang menuju kearah kehidupan yang harmonis yaitu kehidupan yang mengandung keamanan, ketentraman bagi anak baik jasmaniah maupun rohaniah.
b.Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah untuk membantu anak-anak terutama mereka yang terlantar, berada dalam kehidupan tidak mampu, agar memperoleh tempat kehidupan yang layak dalam lingkungan keluarga tertentu, sehingga ia dapat menikmati keuntungan dari kehidupan keluarga yang dapat memberikannya kasih sayang, asuhan, perlindungan, dan kesempatan essensial untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya.

Terkait dengan tujuan mengangkat anak membawa akibat hukum bagi pengangkatan anak yang diuraikan dalam S.1927 No.129, yakni:
1.Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).
2.Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (pasal 12 ayat 1).
3.Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.
4.Karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).6

Pengangkatan anak menyebabkan anak tersebut mendapat nama keluarga dari orangtua angkatnya sekaligus menjadi pewaris dan penerus keluarga, tetapi tidak memutuskan hubungan dengan orangtua kandungnya.
Dari uraian tersebut diatas, penulis akan memaparkan makalah dengan judul Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Positif Indonesia.

B. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.Bagaimanakah pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum Indonesia?
2.Bagaimanakah kedudukan anak angkat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007?



BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem Hukum Indonesia
1. Hukum Adat
Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak, seperti di Bali; pengangkatan anak dikenal dengan nama angkat sentana yang dilakukan melalui upacara pemerasan. Ambil anak, kukut anak, anak angkat adalah suatu perbutan hukum dalam konteks hukum adat kekeluargaan (keturunan). Apabila seorang anak telah dikukut, dipupon, diangkat sebagai anak angkat, maka ia akan didudukkan dan diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik biologis maupun sosial yang sebelumnya tidak melekan pada anak tersebut.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.7
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.8
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.



2. Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut pendapat orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti. Agama Islam menganjurkan agar manusia saling tolong menolong diantara sesamanya. Salah satu cara untuk menolong sesama adalah dengan memelihara anak-anak atau bayi-bayi terlantar yang orangtuanya tidak mampu. Adpsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak menjadikan anak yang diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah.
Allah mengharamkan adopsi yang bertujuan untuk meneruskan keturunan dan menjadikan anak angkat itu seperti anak kandung. Sebab-sebab yang mengharamkannya adalah:
1.Mencampurbaurkan peraturan Allah dalam menyusun masyarakat dan keluarga, sehingga tidak jelas tanggung jawab manusia atas setiap hak dan kewajibannya. Maksudnya, jika anak angkat dianggap sebagai anak kandung berarti hubungan antara anak angkat dengan orangtua kandungnya menjadi putus. Dalam agama Islam, meutuskan tali kekeluargaan atau silaturrahmi haram hukumnya, apalagi melenyapkannya, karena, hubungan darah itu adalah dari Allah semata yang telah diatur oleh-Nya sedemikian rupa. Selain itu, anak merupakan amanat yang diserahkan oleh Allah kepada kedua ibu bapaknya, sehingga anak itu menjadi tanggung jawab orangtuanya.
2.Merampas hak milik orang lain, sedangkan Allah telah membagi-bagi rezeki setiap orang.
3.Melanggar peraturan Allah SWT tentang kekeluargaan dimana setiap keluarga itu mempunyai kehormatan sendiri dan bergaul sesama mereka dengan sistem hidup yang telah ditentukan oleh Allah. Maka mencampurbaurkan orang asing (bukan mahram) dengan keluarga kita, merupakan suatu perbuatan melanggar kesopanan Islam dan kehormatan keluarga, sedangkan keluarga itu adalah satu rahasia yang perlu dijaga, diawasi dan dapat dilindungi kecemaran dan cacat.
4.Mengambil hak anak-anak kandung baik dalam kasih sayang maupun dalam pemberian harta pusaka. Ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah adalah manusia bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan harta benda dibagikan terutama sekali untuk anak-anak kandung.
5.Tidak membedakan yang halal dan yang haram.
6.Perkawinan adalah dasar untuk mendapatkan anak yang sah.9
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah adopsi dengan memberi status yang sama dengan anak kandung sendiri. Jadi dalam hal ini adopsi lebih ditekankan pada perlakuan terhadap seorang anak dalam hal kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya.

3. Hukum Perdata Barat
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280 sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar kawin.
Lembaga pengakuan anak diluar kawin, tidak sama dengan lembaga pengangkatan anak. Dilihat dari segi orang yang berkepentingan, pengakuan anak diluar kawin hanya dapat dilakukan oleh orang laki-laki saja khususnya ayah biologis dari anak yang akan diakui. Sedangkan dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah biologisnya, tetapi orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat melakukan permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan hukum.
Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak menunjukkan angka yang meningkat, naka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi Hukum Perdata Barat (BW).


B.Kedudukan Anak Angkat Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2007 menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya. Orangtua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya. Pemberitahuan asal-usul dan orangtua kandung tersebut dengan memperhatikan kesiapan anak. Ketentuan ini juga diatur di dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.



BAB III
SIMPULAN

Pengangkatan anak menurut adat yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut pendapat orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin.
Pengangkatan anak yang dimaksud dalam PP Nomor 54 Tahun 2007 adalah bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya.

Spiritualitas "New Age"

SALAH satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.

Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.

Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas baru.

Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).

Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?

Gerakan "New Age"

Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.

Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse directed toward the esoteric/metaphysic al/spiritualism. .., hasrat spiritual New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritua litas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of... yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga merambah ke "pendidikan spiritual" dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan beragam variasinya.

Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000, In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience.. . With no membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.

Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations, berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya .

Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.

Spiritualitas "New Agers"

Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.

Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church. Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, "keselamatan" itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan "pantheisme" begitu fenomenal di kalangan New Age.

Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Milllenium karya Dalai Lama. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia. Mirip konsep transmigration of the soul dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya.

Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa "hanya ada Satu Realitas yang eksis". Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama) .

Sumber: http://www.kompas. com/kompas% 2Dcetak/0006/ 30/opini/ spir04.htm

Filsafat Pemahaman Absolut

Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.

Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.

Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.

Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.

Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.

Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.

Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya. " Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya. "

Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.

Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.

Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Bowie, Lee G., Michaels, Meredith W., Solomon, Robert C. Twenty
Questions "An Introduction to Philosophy. Harcourt Brace & Company,
3rd ed. Kierkegaard 72- 75

Diterjemahkan dari: Cyberessays