BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari otariat yang inamakan “latinjse notariat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkatoleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula.
Mula-mula lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke Perancis, di negara mana lembaga notariat ini sepanjang masa sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan, telah memperoleh puncak perkembangannya. Dari Perancis ini pulalah pada permulaan abad ke 19 lembaga notariat sebagaimana itu dikenal sekarang, telah meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain.
Nama notariat berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama “notarius”. Yang dinamakan “notarius” dahulu tidaklah sama dengan “notaris” yang dikenal sekarang, hanya namanya yang sama. Arti dari nama “notarius” secara lambat laun berubah dari artinya semula. Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah masehi dan bahkan jauh sebelumnya, sewaktu nama atautitel itu dikenal secara umum, yang dinamakan para “notarii” tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat didalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagai “stenografen”. Sepanjang pengetahuan, para “notarii” mula-mula sekali memperoleh namanya dari perkataan “nota literaria”, yaitu “tanda tulisan” atau “character”, yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan.
Untuk pertama kalinya nama “notarii” diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan oleh Cato dalam senat Romawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan. Kemudian dalam bagian kedua dari abad ke-5 dan dalam abad ke-6 nama “notarii” diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi dari para Kaisar, sehingga dengan demikian nama “notarii” kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang diartikan dengan perkataan “notarii” tidak lain adalah “pejabat-pejabat istana”, yang melakukan berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan yang semata-mata merupakan pekerjaan administratip.
Notariat mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Pada tangal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan “Batavia”), Melchior Kerchem, Sekretaris dari “College van Schepenen” di Jacatra, diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Di dalam angka pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekerjaannya itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel Batavia, dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya.
Para notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan jabatannya itu, oleh karena mereka pada masa itu adalah “pegawai” dari Oost Ind. Compagnie. Bahkan dalam tahun 1632 dikeluarkan plakat yang brisi ketentuan bahwa para notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual-beli, surat wasiat, dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal dan “Raden van Indie”, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Dalam pada itu dalam praktek ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan, sehingga akhirnya ketentuan itu menjadi tidak terpakai lagi. Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris dalam tahun 1620, jumlah notaris terus bertambah, walaupun lambat, yang disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu.
Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765. Reglemen-reglemen tersebut sering mengalami perubahan-perubahan, oleh karena setiap kali apabila untuk itu dirasakan ada kebutuhan, bahkan hanya untuk pengangkatan seorang notaris, maka peraturan yang ada dan juga sering terjadi peraturan yang sebenarnya tidak berlaku lagi, diperbaharui, dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali ataupun diadakan peraturan tambahannya. Menurut kenyataannya semua itu dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan dari yang berkuasa pada waktu itu dan sekali-sekali bukan untuk kepentingan umum, sebagaimana haknya sekarang ini.
Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda pada waktu itu menganggap telah tiba waktunya untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pengganti dari peraturanperaturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Regelement) yang dikenal sekarang ini pada tanggal 26 Januari 1860 (Stb no. 3) mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. dengan diundangkannya “Notaris Reglement” ini, maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan notariat di Indonesia. Peraturan tersebut baru diperbaharui pada tanggal 6 Oktober 2004 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2006 tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris diatur dalam Pasal 3 UU Jabatan Notaris, adalah:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Beriajzah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. Tidak berstastus sebagai pegawai negeri, jabatan negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan Jabatan Notaris.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4, sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Sumpah/janji tersebut berbunyi:
“Saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun”.
Dalam melaksanakan jabatannya Notaris harus senantiasa berpegang pada Kode Etik Notaris. Berdasarkan Kongres Luar Biasa I.N.I. pada tahun 2005 dirumuskan Kode Etik Notaris sebagai berikut:
Pasal 3, Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib:
Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notari.
Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm , yang memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.
Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.
Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.
Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim.
Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Pasal 4,
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang :
Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.
Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain.
Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen- dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
B. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
Apa sajakah yang menjadi kewenangan Majelis Pengawas Notaris?
Apa sanksi yang dikenakan terhadap Notaris yang melakukan pekerjaan lain yang termasuk dalam larangan Notaris?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinann dan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas berjmlah 9 orang, terdiri atas unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Organisasi Notaaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Pengawasan yang dilakukan meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris.
Majelis Pengawas terdiri atas:
a. Majelis Pangawas Daerah
Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk di Kabupaten atau Kota. Berdasarkan Pasal 70 UU Jabatan Notaris, MPD berwenang:
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris;
melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;
menerima laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris;
membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1,2,3,4,5,6, dan 7 kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Pasal 71 UU Jabatan Notaris menyebutkan bahwa MPD berkewajiban:
mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
membuat berita cara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat;
merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;
menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
b. Majelis Pengawas Wilayah
Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi. Pasal 73 UU Jabatan Notaris menyatakan MPW berwenang:
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
memanggil Notaris pelapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1;
memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris Pelapor;
memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
mengusulkan pemberian saksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
a) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan;
b) pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 75 UU JN menyebutkan MPW berkewajiban:
1. menyampaikan keputusan kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;
2. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
c. Majelis Pengawas Pusat
Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara. Pasal 77 UU JN menyebutkan MPP berwenang:
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengadili keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan;
mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Pasal 78 UU JN menyatakan MPP berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 angka 1 kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah serta Organisasi Notaris.
B. Sanksi Terhadap Notaris yang Melakukan Pekerjaan yang Dilarang
1. Posisi Kasus
Notaris Feny Sulifadarti dituding melanggar etika profesi notaris oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Tidak hanya berperan ganda, Fenny juga menggelapkan sejumlah data tanah dalam akta jual beli.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menuding notaris proyek pengadaan tanah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Feny Sulifadarti melanggar etika profesi notaris. Tuduhan itu ditenggarai karena Fenny berperan ganda dalam proses penjualan tanah tersebut. Fenny mengaku berperan sebagai kuasa penjual dan pembuat akta jual beli tanah.
Notaris boleh menjadi kuasa penjual dengan syarat akta jual beli itu dibuat oleh notaris lain. Untuk menghindari hal itu, makanya saudara Feny Sulifadarti membuat surat kuasa dibawah tangan.
Menanggapi tudingan itu, Fenny menyatakan bahwa itu adalah kemauan dari pemberi kuasa. Menurutnya, pemilik tanah, Komarudin dan Lasiman, meminta dirinya untuk menjual tanah mereka dengan harga sama dengan Indrawan Lubis.
Lasiman membantah pernyataan Fenny. Sebelumnya, dalam kesaksiannya, Lasiman membeberkan bahwa Fenny yang menawarkan jasa untuk menjadi kuasa penjual.
Hal senada juga diutarakan oleh Komarudin. Fenny yang menawarkan. Komarudin mengaku awam soal penjualan tanah, karena itu ia menerima tawaran Fenny.
Mendengar hal itu, Fenny bersikukuh dialah yang benar.
Tidak hanya itu, Fenny juga mengaku menerima uang penjualan tanah dari pihak Bapeten. Anehnya, uang sebesar Rp19 miliar, tidak langsung diberikan kepada pemilik tanah. Fenny langsung memotong uang tersebut dengan dalih untuk membayar pajak-pajak dan fee buat dirinya.
Fenny menerangkan fee yang dia terima selaku kuasa penjual notaris sebesar Rp312 juta. Uang itu digelontorkan untuk biaya pembuatan akta jual beli plus pengurusan izin lokasi.
Namun, ia tidak merinci besarnya biaya pengurusan.
Sementara itu untuk biaya pajak, Fenny menerangkan biaya pajak yang dikenakan terdiri dari pajak penjual, pembeli dan pajak waris. Semua sudah saya laporkan kepada pemilik tanah, terangnya.
Namun, setelah dikonfrontir dengan Komarudin dan Lasiman, keduanya membantah hal itu. Keduanya menerangkan Fenny tidak pernah menunjukan bukti pembayaran pajak kepada mereka.
Komarudin dan Lasiman mengaku mereka menandatangani kuitansi kosong.
Terkait dengan penandatanganan akta jual beli, Fenny selaku notaris tidak pernah mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk menandatangani akta.
Menurut Hakim Mansyurdin , sebagai pejabat umum pembuat akta harusnya Fenny bertindak profesional. Jangan jadi makelar tanah, tandasnya.
Analisis Kasus
Berdasarkan kasus diatas telah dapat dibuktikan bahwa Notaris tersebut melakukan pelanggaran, tidak hanya terhadap UU Jabatan Notaris tetapi juga Kode Etik Notaris.
Etika Kepribadian Notaris menyebutkan bahwa Notaris wajib:
a. memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
b. menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notari;
c. bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab.
Dengan menjadi kuasa penjual Notaris Feny Sulifadarti tersebut sudah bertindak tidak menghormati dan tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris, serta tidak bertindak jujur, dan tidak penuh rasa tanggang jawab. Hal itu terlihat jelas karena pada kenyataannya bahwa seyogyanya seorang Notaris tidak boleh menjadi kuasa penjual, tetapi ia mengingkari hal tersebut dengan cara membuat Surat Kuasa dari penjual kepada dirinya selaku kuasa penjual secara di bawah tangan. Selain itu, sikap tidak jujur Notaris tersebut juga terlihat dalam hal ia memberikan kuitansi kosong untuk ditanda tangani oleh penjual.
3. Sanksi yang Dapat Dijatuhkan Terhadap Notaris yang Melakukan Pekerjaan Lain
Terhadap Notaris Feny Sulifadarti, tindakan pertama yang dilakukan adalah melaporkan Notaris tersebut kepada MPD dimana ia berkedudukan. Melalui laporan tersebut maka MPD mengambil tindakan yaitu menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris, kemudian membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Setelah laporan tersebut diterima oleh MPW maka MPW menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah; memanggil Notaris yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan tersebut. Kemudian MPW dapat memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, mengusulkan pemberian saksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
a) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan;
b) pemberhentian dengan tidak hormat.
Setelah laporan tersebut diteruskan kepada MPP maka MPP mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Sanksi pemberhentian dengan tidak hormat adalah sanksi yang terberat yang kenakan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan UU Jabatan Notaris.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Majelis Pengawas terdir atas MPD, MPW, dan MPP. Majelis Pengawas tersebut memiliki kewenangannya masing-masing yang dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik maupun UU Jabatan Notaris, maka hal tersebut harus diselesaikan sesuai prosedur, yaitu pertama-tama dilaporkan ke MPD, kemudian MPD melanjutkan hasil pemeriksaan laporan tersebut ke MPW, setelah itu MPW meneruskannya ke MPP. MPP dapat memberikan usulan pemberhentian secara tidak hormat terhadap Notaris terssebut kepada Menteri.
B. Saran
Pengawasan terhadap Notaris seharusnya diperketat, untuk meminimalisir pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, sehingga masyarakat pengguna jasa Notaris tidak dirugikan, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Notariat meningkat.
LAMPIRAN
Kasus:
Jika Notaris Merangkap Jadi Makelar Tanah
Kasus Bapeten
[5/12/07]
Notaris Feny Sulifadarti dituding melanggar etika profesi notaris oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Tidak hanya berperan ganda, Fenny juga menggelapkan sejumlah data tanah dalam akta jual beli.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menuding notaris proyek pengadaan tanah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Feny Sulifadarti melanggar etika profesi notaris. Tuduhan itu ditenggarai karena Fenny berperan ganda dalam proses penjualan tanah tersebut. Fenny mengaku berperan sebagai kuasa penjual dan pembuat akta jual beli tanah.
"Menurut etika, profesi saudara tidak benar. Kalau dibawa ke sidang, saudara bisa kena,î ujar Majelis Hakim Mansyurdin Chaniago dalam persidangan dengan terdakwa Sugiyo Prasojo (Kepala Sub Bagian Rumah Tangga) dan Hieronimus Abdul Salam (Sekretaris Utama Bapeten), di Pengadilan Tipikor, Rabu (5/12).
Mansyurdin menegaskan, seorang notaris tidak boleh menjadi pihak dalam akta yang dibuatnya. Sebaliknya, notaris boleh menjadi kuasa penjual dengan syarat akta jual beli itu dibuat oleh notaris lain. ìUntuk menghindari hal itu, makanya saudara membuat surat kuasa dibawah tangan kan,î tegas Mansyurdin.
Menanggapi tudingan itu, Fenny menyatakan bahwa itu adalah kemauan dari pemberi kuasa. Menurutnya, pemilik tanah, Komarudin dan Lasiman, meminta dirinya untuk menjual tanah mereka dengan harga sama dengan Indrawan Lubis. Mungkin mereka lebih percaya pada notaris, terangnya. Fenny mengaku tidak pernah kenal mereka sebelumnya.
Lasiman yang berada diruang sidang langsung membantah pernyataan Fenny. Tidak benar Pak Hakim., Saya tidak pernah meminta! tegasnya. Sebelumnya, dalam kesaksiannya, Lasiman membeberkan bahwa Fenny yang menawarkan jasa untuk menjadi kuasa penjual.
Hal senada juga diutarakan oleh Komarudin. ìFenny yang menawarkan, katanya saat memberikan kesaksian. Komarudin mengaku awam soal penjualan tanah, karena itu ia menerima tawaran Fenny. Saya orang kampung, yang penting beres saja, terangnya.
Mendengar hal itu, Fenny bersikukuh dialah yang benar. Terserah kalau mereka tidak mengakui, tapi saya sudah disumpah, kilahnya.
Tidak hanya itu, Fenny juga mengaku menerima uang penjualan tanah dari pihak Bapeten. Anehnya, uang sebesar Rp19 miliar, tidak langsung diberikan kepada pemilik tanah. Fenny langsung memotong uang tersebut dengan dalih untuk membayar pajak-pajak dan fee buat dirinya. Mereka (pemilik tanah, red) maunya begitu, katanya.
Fenny menerangkan fee yang dia terima selaku kuasa penjual notaris sebesar Rp312 juta. Uang itu digelontorkan untuk biaya pembuatan akta jual beli plus pengurusan izin lokasi.
Majelis Hakim Mansyurdin terkejut mendengar penjelasan Fenny. Kok besar sekali, katanya. Padahal, menurut Fenny biaya notaris itu hanya satu persen dari nilai jual. Notaris yang beroperasi diwilayah Bogor itu membenarkan hal itu. Sisanya untuk biaya pengurusan, tegasnya. Namun, ia tidak merinci besarnya biaya pengurusan. Ia berdalih pengurusan itu dilakukan anak buahnya. Belum dilaporkan pada saya, katanya.
Sementara itu untuk biaya pajak, Fenny menerangkan biaya pajak yang dikenakan terdiri dari pajak penjual, pembeli dan pajak waris. Semua sudah saya laporkan kepada pemilik tanah, terangnya.
Namun, setelah dikonfrontir dengan Komarudin dan Lasiman, keduanya membantah hal itu. Keduanya menerangkan Fenny tidak pernah menunjukan bukti pembayaran pajak kepada mereka.
Ketua Majelis Hakim Sutiyono langsung membuat perhitungan sendiri. Setelah saya hitung jauh diatas yang diterima penjual tanah, katanya. Ternyata ini disebabkan karena Fenny menjual tanah tersebut jauh diatas harga tanah yang diterima pemilik tanah.
Komarudin dan Lasiman mengaku tanahnya hanya dihargai sebesar Rp170.000 per meter. Apalagi dari nilai itu, mereka berjanji menyisihkan Rp20.000 untuk Jejen, calo tanah. Komarudin, atas tanah seluas 3165 m2 hanya menerima pembayaran sebesar Rp500 juta. ìIjab kabulnya memang segitu, katanya. Komarudin mengaku tidak mengetahui deal yang dilakukan Fenny kepada Bapeten.
Luas tanah yang tertuang dalam akta jual beli pun tidak sesuai dengan girik milik Komarudin. Dalam akta jual beli hanya disebutkan tanah seluas 3100 m2. Yang 65 meter saudara kemanakan, tanya hakim Sutiyono.
Fenny berdalih karena berbentuk girik maka luas tanahnya ditulis kurang lebih 3100 meter. Namun, ternyata, hakim Sutiyono mengungkap dalam Surat Kuasa Pengambilan Uang tanah Komarudin juga tertulis kurang lebih 3165 meter.
Yang lebih mencengangkan, Komarudin dan Lasiman mengaku mereka menandatangani kuitansi kosong. Namun hal ini dibantah Fenny. Saya tidak pernah memberikan kuitansi kosong dan saya sudah bacakan," tegasnya.
Terkait dengan penandatanganan akta jual beli, Fenny selaku notaris tidak pernah mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk menandatangani akta. ìSaya sudah membacakan akta dihadapan para pihak, terangnya. Hanya, para pihak tidak menghadap bersamaan, tapi terpisah.
Mendengar jawaban Fenny yang kontradiktif, majelis hakim berkali-kali memperingatkan Fenny. Terserah saudara, saudara itu saksi, saksi wajib menerangkan yang benar dan tidak boleh berbohong, kata Sutiyono.
Fenny tetap cuek dengan peringatan hakim. Fenny bahkan menantang kedua pemilik tanah untuk membuktikan keaslian tanda tangan mereka ke Bareskrim. Buktikan di Bareskrim saja, katanya.
Hakim Mansyurdin pun geram. Menurutnya, sebagai pejabat umum pembuat akta harusnya Fenny bertindak profesional. Jangan jadi makelar tanah, tandasnya.